SATU-SATUNYA SITUS RESMI AYAH EDY

SATU-SATUNYA SITUS RESMI AYAH EDY
Bagaimana caranya..? Gabung di FB: komunitas ayah edy, download talkshow di www.ayahedy.tk

Thursday, October 6, 2011

Aneh dan menarik..., DI KOREA ANAK YG TERLALU BANYAK BELAJAR MALAH TERKENA RAZIA ...?

------------------------------------------------------------------
Jika Anda termasuk orangtua yang getol memaksa anak untuk membaca buku pelajarannya, hati-hatilah. Jangan sampai anak Anda justru ketagihan belajar sehingga tidak bisa menimati hidup. Kalau sudah begini, dibutuhkan kekuatan polisi untuk menyetop nafsu belajar anak Anda.

Inilah yang terjadi di Korea Selatan.

Kehidupan di Korea Selatan memang kompetitif. Semua orang ingin anaknya menjadi yang terbaik dari segi akademik. Kawan saya di sana berkisah anaknya yang baru menginjak umur 3 tahun sudah harus masuk sekolah berasrama (boarding school) dari Senin hingga Jumat. Otomatis hanya 2 hari bertemu dengan ayah-bundanya tersayang.

Sori yah, kata saya. Saya nggak tegaan sama anak sampai segitunya. Kalau anak saya menginjak umur 3 tahun nanti palingan masih santai-santai di rumah main sama neneknya.

Saya (dulu) pernah meyakini kompetisi akan mengekstrak kualitas terbaik dari seorang manusia. Ibarat evolusi, kompetisi akan mempertahankan hanya yang terbaik dan yang lemah akan pupus.

Tetapi efek negatifnya tentu ada. Kehidupan kompetitif akan memicu stres. Kita semua tahu apa akibat dari kehidupan yang penuh dengan tekanan; kesehatan kita tergerogoti sehingga mati pelan-pelan, atau mati cara ekspres dengan bunuh diri. Tak heran Korea Selatan mencatat angka bunuh diri TERTINGGI di antara 30 negara maju, melebihi angka bunuh diri negara Jepang.

Itukah yang kita inginkan dalam kehidupan ini? Sukses di usia muda tapi mati pun di usia muda?

Menyadari hal ini, Pemerintah Korea Selatan mengambil tindakan drastik dengan menghentikan kegiatan belajar anak-anak yang dirasa berlebihan. Seperti diberitakan Time Magazine baru-baru ini, pemerintah negeri ginseng itu menurunkan tim kecil berkekuatan 5-6 orang untuk merazia anak-anak yang masih belajar setelah jam 10 malam. Yang menjadi sasaran utama adalah tempat-tempat les/bimbingan belajar yang dikenal dengan nama hagwon. Saking gilanya nafsu belajar anak-anak Korea ini, jumlah pengajar hagwon jauh lebih besar dibanding jumlah guru sekolah.

Apakah anak-anak Korea memang rajin sehingga keranjingan belajar? Tidak juga. Jurnalis Time mendapati mereka bekerja keras (work hard), tetapi tidak bekerja secara cerdik (work smart). Contohnya, anak-anak ini tidur dalam kelas, tetapi malamnya belajar sampai dinihari. Mereka hanya tidur 5-6 jam sehari dari yang seharusnya 9 jam. Seandainya mereka memusatkan perhatian di dalam kelas, niscaya mereka tidak perlu mengikuti les ini-itu di malam hari.

Sebagai perbandingan adalah negara Finlandia sebagai satu-satunya negara maju yang mencatat hasil ujian akademik anak usia 15 tahun sebanding dengan Korea, hanya 13% anak sekolah yang mengambil les tambahan di malam hari. Jadi sebenarnya les-les semacam itu tidak perlu jika si anak benar-benar memusatkan perhatian di sekolah.

Kegilaan belajar anak Korea juga diakibatkan oleh kompetitifnya proses masuk ke perguruan tinggi. Hanya ada tiga perguruan tinggi top di Korea Selatan yang diperebutkan oleh 580 ribu lulusan sekolah menengah. Tingkat penerimaan hanya 14%. Yang gagal biasanya mengambil les hagwon, dan setelah bekerja keras bagai kesetanan selama 2 minggu untuk ujian ulang, 70% di antara mereka bisa masuk ke perguruan tinggi top tersebut.

Saya kadang-kadang kasihan melihat anak-anak Asia. Bukan cuma anak-anak Korea, tetapi Singapura, China, dan juga mulai menjangkiti Indonesia. Siapa sih yang menghendaki anak-anak ini belajar keras? Si anak sendiri atau orangtua? Di Korea, terbukti orangtua menjadi faktor penekan yang menyebabkan anak gila belajar. Orangtua ingin anaknya berhasil secara akademis, dan anaknya menjadi sasaran tekanan.

Saya masih ingat dulu sekali, kalau rapor saya dan teman-teman ada angka merahnya, orangtua memarahi kita. Kini lain cerita. Kalau ada angka merah, orangtua memarahi sang guru. Ini adalah salah satu bukti bahwa ambisi terbesar untuk melihat kesuksesan si anak justru ada pada orangtua.

Juga anak-anak sekarang, usia balita sudah diikutkan les macam-macam. Les balet, les musik, les bahasa, les bela diri. Ini semuanya bukan permintaan si anak, tapi ambisi orangtua untuk melihat anaknya sukses di usia muda. Si anak sendiri tak peduli apakah dia bisa balet atau berkarate.

Di Singapura biasanya antar orangtua saling membanding-bandingkan. Kalau tetangga sebelah mengirim anak balitanya les balet, dia akan menanyai kita dengan nada sinis, “Anakku sudah bisa berbalet, anakmu bisa apa?” Sebagai orangtua tentu akan merasa panas hati dan terpaksa mengirim si anak berbalet ria walaupun si anak sendiri amsih mau bermain saja di rumah. Budaya ini (saling membandingkan) diistilahkan sebagai “kiasu” di Singapura.

Saya dulu umur 5 tahun masih main gundu dan layangan. Malah masih pakai empeng. Berhitung pun baru lancar pada saat kelas 2 SD. Toh bisa meraih gelar doktor di usia sebelum 30 tahun. Saya justru belum melihat bukti anak-anak jaman sekarang yang dicekoki oleh orangtuanya ini mampu meraih kesuksesan. Jangan-jangan malah bunuh diri karena stres!

Sumbar: Kompasiana.com

9 comments:

  1. ini adalah suatu pembelajaran yang bagus buat anak dan orang tua. trim ayah

    ReplyDelete
  2. betul sekali ayah, budaya adalah kunci kemajuan sebuah bangsa, . . . padahal katanya di negeri kita ini budayanya adalah yang terbaik di dunia. . . . namun hasilnya , kok ? ! !

    ReplyDelete
  3. Budaya kita bukan yang terbaik di dunia, budaya memiliki sifat sejajar, lain halnya jika berpendapat mengenai peradaban, maka hal itu mungkin saja berbeda-beda di setiap negara. yang pasti budaya itu sejajar, karena baiknya budaya itu selalu berkembang pesat dengan manusianya itu sendiri. trims
    untuk yang kesekian kalinya saya ucapkan banyak terima kasih pada ayah edy atas artikel di atas yang luar biasa, itu sebagai cerminan bagi orang tua untuk dapat memahami kondisi anak - anaknya, karena seperti yang banyak luput dari renungan, kalau orang tua pun pernah menjadi anak.

    trims.
    www.perangkap-nyamuk.blogspot.com

    ReplyDelete
  4. terimakasih..ini pencerahan buat saya...

    ReplyDelete
  5. Terima kasih ayah... informasi yang luar biasa...

    ReplyDelete
  6. memang harus banyak belajar bersabar untuk para orang tua. menarik nafas panjang untuk menenangkan hati. apalagi di lingkungan yang kompetitif. dan jangan pernah sekali-kali menbandingkan anak kita dengan anak lain atau dengan temannya dihadapan anak kita. saya adalah contoh anak yg dulu sering dibanding-bandingkan dengan teman satu kampung oleh orangtua saya. teman itu sering dipuji-puji oleh orangtua saya di depan saya. saya sering sakit hati karena orangtua saya tidak tahu siapa sebenarnya teman saya itu. sebab, kuncinya adalah, saya adalah orang yang sangat banyak tahu tentang teman saya itu dibandingkan dengan orang tua saya. baik buruknya saya tahu. karena saya adalah temannya.

    ReplyDelete
  7. Sebuah pencerahan... Terimakasih ayah Edy.

    ReplyDelete
  8. Sebuah pencerahan... Terimakasih ayah Edy.

    ReplyDelete