SATU-SATUNYA SITUS RESMI AYAH EDY

SATU-SATUNYA SITUS RESMI AYAH EDY
Bagaimana caranya..? Gabung di FB: komunitas ayah edy, download talkshow di www.ayahedy.tk

Tuesday, September 26, 2017

SOSOK GURU DIBALIK LAHIRNYA BUKU JANGAN SALAH PILIH PASANGAN


INILAH SOSOK GURU & MOTIVATOR KEHIDUPAN SEJATI BAGI KELUARGA KAMI,

Sosok yang sudah berhasil melalui ujian panjang kehidupan yang sangat berat dengan nilai nyaris SEMPURNA.  Namun tak banyak bicara dan diketahui orang.

Keluarga Almarhum Mas "Pepeng" dan Istri Tercinta adalah teladan bagi saya, istri dan keluarga kami..., juga mungkin keluarga-keluarga Lainnya di Indonesia.

2 kali saya mengunjungi Almarhum saat masih di rawat di ruangan ini.

1x saya datang sendiri atas undangan beliau, untuk membicarakan sebuah Program Parenting Reality Show yang waktu itu diusulkan untuk ditayangkan di ANTV.

Yang kedua adalah saya mengajak Istri dan keluarga untuk menjenguk langsung Sahabat dan Guru Kehidupan kami "Mas Pepeng dan Mba Tami" (panggilan akrab keduanya).

Saya sengaja mengajak Istri saya untuk ikut berkunjung langsung ke rumah Mba Tami & Mas Pepeng, agar kita berdua bisa belajar dan melihat langsung dari sumbernya, dan bukan hanya mendengar dari cerita saya saja.

Kami berjam-jam berbincang, atau lebih tepatnya "belajar rasa cinta, kasih sayang dan kepedulian yang sejati sebagai seorang suami Istri yang luar biasa.

Dan hasil belajar kami ini kami tulis dan InsyaAllah akan kami abadikan dalam buku yang sedang kami susun yang berjudul

"Jangan Asal Pilih Pasangan Hidup dan Jangan Pilih pasangan hidup yang asal"

Semoga buku ini kelak bisa membantu para calon pasangan yang ingin menentukan jalan hidup bersama, dan tidak keliru memilih pasangan karena ketidaktahuan atau karena tekanan lingkungan atau mungkin juga karena alasan usia kita atau mungkin hanya karena dorongan cinta sesaat yang membutakan hati dan kenyataan.

Karena ternyata faktanya kesalahan memilih pasangan ini bisa berdampak besar bagi keharmonisan hubungan suami istri, dan keharmonisa suami istri  ini akan berdampak besar terhadap pola asuh dan perilaku moral anaknya.

Inilah masalah dari Hulu yang pada akhir mengalir ke Hilir.  Tapi sayangnya kebanyakan pasangan orang tua tidak menyadari ini dan lebih suka melimpahkan kesalahan pada anak-anaknya yang katanya nakal, susah diatur, dan sebagainya. 

Padahal sesungguhnya semua masalah anak berawal dari hubungan yang tidak harmonis dari kedua orang tuanya ini.

Nah bagi sahabatku yang tertarik untuk membaca tulisan kenangan manis kami bersama Almarhum Mas Pepeng dan Mba Tami, silahkan membaca artikel di bawah ini;

Tapi mohon maaf jika agak panjang isinya;  karena memang inilah kenangan Indah kami saat belajar ilmu kehidupan dari orang yang kami kagumi dalam mengelola biduk rumah tangganya, di tengah badai besar yang menghantam keluarganya.   Semoga bisa menjadi teladan bagi kita semua.

Selamat membaca ya sahabatku,

Hari itu 30 Oktober 1983. Sepasang laki-laki dan perempuan mengikat janji suci. Si pria berusia 29, sedangkan pasangannya berumur 22 tahun. Mereka berdua masih mahasiswa, tapi niat mereka baik, tekad mereka bulat, komitmen mereka mantap.

Tiga tahun kemudian, anak pertama mereka lahir. Sementara bunda bertugas menyusui, ayahnya memandikan, mengganti popok dan menjaga bayi mungilnya di malam hari.

Bertahun-tahun berlalu, si putra sulung tak lagi sendiri. Telah hadir tiga adik laki-laki yang menjadi teman bermainnya. Saat itu si pria berusia 42, sementara istrinya 35 tahun. Tahun ini menandai satu peristiwa penting bagi keluarga mereka. Tahun ini mereka berhasil memiliki rumah sendiri, ‘istana bersahaja’ yang telah lama mereka nantikan dan upayakan. Mereka masih muda, sehat, dan memiliki jutaan rencana. Jalinan cinta mereka pun terasa semakin kuat.

Siapa sangka, Tuhan memiliki rencana lain. Pada tahun 2004, si pria terjatuh saat bermain badminton. Sejak itu, lutut kirinya kerap terasa pegal.

Menganggap bukan masalah besar, ia mengabaikannya. Rupanya, gejala ini menjelma bom waktu yang menjadi awal serangan virus mematikan. Tahun 2005, si pria didagnosa menderita penyakit langka multiple sclerosis (MS). Penyakit ini menyerang saraf otak dan sumsum tulang belakang, yang akhirnya membuat tubuhnya lumpuh dari pinggang ke bawah. Segala rencananya pun berantakan. Tuhan mengambil alih kendali hidupnya. 
***

Laki-laki itu bernama Ferrasta Soebardi, tapi ia lebih dikenal dengan julukan Pepeng. Istri dan kawan-kawan dekat memanggilnya Peng saja. Ia seorang entertainer: Komedian, penyiar radio dan pemain film. Bintangnya bersinar pada era 1980-an. Ia tergabung dalam program radio Sersan Prambors bersama Krisna dan Nana Krip. Ia pernah bermain dalam film Rojali dan Juleha (1979), Sama-Sama Enak (1986), dan Anunya Kamu (1986). Pada 1990-an, ia terkenal sebagai pemandu telekuis fenomenal Jari Jari di RCTI.

Si perempuan bernama Utami Mariam Siti Aisyah. Panggilannya Tami. Peng memanggilnya dengan sebutan sayang, ‘Dik Uta’. Selain mengurus keluarga, ia bekerja sebagai desainer busana dan memiliki usaha garmen.

Kehidupan mereka berubah seratus delapan puluh derajat sejak Peng lumpuh. Dahulu, ia ‘tak bisa diam’. Ada-ada saja kegiatannya. Namun kini ia menghabiskan sebagian besar waktu di ranjangnya, di dalam kamar berukuran 5x3 meter. Di sinilah pusat aktivitasnya. Kariernya di bidang entertainment pun harus berakhir. Namun ia tak mau menyerah berjuang demi keluarganya. Perlahan-lahan, ia belajar dan banting setir menjadi desainer website dan penjual domain sehingga bisa bekerja dari kamar. Laptop dan internet menjadi modal utamanya untuk bekerja, juga berhubungan dengan dunia luar.

Kehidupan Tami pun berubah drastis. Kamar 5x3 meter itu menjadi pusat kehidupannya, karena di sanalah Peng berada. Merawat dan menemani Peng adalah prioritas pertamanya kini.

Syok dan kesedihan mendalam tentu dirasakan pasangan ini awalnya. Laki-laki mana yang mau terbaring sehari-hari saja di dalam kamar? Perempuan mana yang rela melihat suaminya kehilangan daya?
Namun keduanya pantang menyerah. Mereka selalu berusaha berbaik sangka pada rencana Tuhan. Hari demi hari mereka lalui dengan sabar.

“Gua Peng,” demikian Tami menjuluki kamar mereka. Di sanalah mereka shalat, makan, bekerja, menonton televisi dan bercengkrama. Di sanalah mereka menerima klien atau tamu yang tak tak henti-hentinya datang menemui Peng.

Berjalan-jalan, makan di luar rumah atau menonton di bioskop menjadi kemewahan bagi Tami. Sekalinya jalan, ia tak pernah tega meninggalkan Peng lama-lama.

Di malam hari pun ia masih merawat Peng. Setiap malam, Tami harus bangun satu jam sekali untuk membalikkan tubuh suaminya. Tubuh Peng lecet dan luka karena terlalu lama berbaring. Tami pula yang merawat luka-lukanya.
***

Sebagian orang mungkin bertanya-tanya, adakah cobaan besar ini menjelma badai dalam rumah tangga mereka? Adakah kenyataan baru ini mengguncang biduk pernikahan Peng dan Tami?

Jawabannya ternyata tidak. Sebaliknya, ikatan cinta mereka semakin kuat. Tami bahkan mengatakan, ia jatuh cinta kedua kalinya pada Peng. Keikhlasan menerima segalanya ternyata membukakan matanya pada rahmat yang terbungkus oleh cobaan.

Dahulu, sebelum Peng sakit, ia dan Tami sama-sama sibuk dengan karier. Namun kini, mereka menghabiskan waktu 24 jam penuh di rumah, bersama-sama.

Dahulu, rasanya tak banyak waktu untuk bertukar cerita. Kini keduanya betah berlama-lama mengobrol, berdiskusi tentang anak-anak, keluarga, atau apa saja.

Dahulu, waktu sarapan dijalani sambil lalu, sedikit tergesa karena setumpuk pekerjaan telah menanti. Kini mereka bisa santai menikmati hidangan pagi sambil berbicara dari hulu ke hilir. Kebersamaan inilah yang menyuburkan cinta mereka.

Tami pernah menulis dalam blog pribadinya:
“Selama ini kami terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Peng dengan usaha kerasnya mencari nafkah. Saya dengan aktivitas sebagai desainer. Banyak waktu saya tersita untuk mempersiapkan pesanan pakaian dan sepatu para pelanggan. Anak-anak yang makin besar, makin tinggi sekolahnya, sibuk juga dengan berbagai urusan sekolah dan ekstrakurikuler. Ternyata kami jarang sekali berkumpul seperti dulu. Berdialog.

Karena sakitnya Peng, kami sadar, ada amanah lain yang harus kami jalani, yaitu sebagai keluarga. Peng pernah berharap rumah kami menjadi sumber ketenangan, tempat kami bahu membahu membuka jalan keridhaan Ilahi, serta tempat ibadah yang membuat kami lebih khusuk berdoa, mensyukuri segala nikmat-Nya.

Allah berkehendak dengan cara-Nya. Akhirnya kami berkumpul tidak hanya di dalam rumah ini. Semuanya tumpah ruah dalam sebuah kamar. Yah, di kamar Peng, di pembaringan Peng. Semua kegiatan berpusat di kamar ini. Makan bersama, berbagi cerita senang dan sedih, berkeluh kesah, diskusi tentang keadaan di luar rumah, semuanya membaur.

Di sinilah, di kamar yang hangat karena banyak doa dilantunkan, Peng menata kembali semua yang kami cita-citakan. Kendati tidak selalu berhasil, Peng selalu bangun kembali. Kami berusaha untuk selalu berbaik sangka kepada Allah. Allah pasti punya rencana indah untuk kami. Saya sudah menemukan celah yang nyaman di dalam kamar ini. Celah atau peluang yang kami ciptakan terus agar tidak ada rasa jemu yang hinggap saat kami menikmati hari-hari.
...
Sudah menjadi kebiasaan umum, kadangkala orang tidak memperhatikan hal-hal yang kecil yang sesungguhnya terdapat kebahagiaan di dalamnya. Orang lebih mencari kesenangan besar yang sulit direngkuh. Sesungguhnya kebahagiaan yang kecil itu dengan sendirinya akan menjadi besar, dan itulah kebahagiaan sejati.”
***

Hari itu 6 Mei 2015. Si pria menghembuskan napas terakhir setelah sepuluh tahun terbaring sakit. Istri, anak-anak, keluarga besar dan sahabat-sahabatnya mengantarnya hingga ke liang lahat. Saat itu ia sudah 32 tahun menikah dengan istrinya.

Si perempuan -meskipun dilanda kesedihan luar biasa- tak memiliki setitik penyesalan pun di hatinya. Telah ia curahkan segala cinta, waktu, tenaga, dan pengabdian pada suaminya. Ia telah mendampingi prianya dalam susah dan senang, dalam sehat dan sakit, hingga maut memisahkan. Ia ikhlas melepas kepergian prianya menghadap Sang Khalik.

Di antara lantunan doa dan ayat suci, di balik derai air mata, berkelabat di benaknya penggalan puisi yang pernah dituliskan sang suami. Puisi langka, karena suaminya bukan pria romantis yang mudah mengumbar kata mesra.

Puisi yang didengarnya dengan telinga, tapi akan selalu disematkannya dalam hati, hingga kelak ia bertemu kembali dengan belahan jiwanya di kehidupan yang abadi. 

Dik Uta, terlalu banyak dan panjang jika saya tulis rasa terima kasih atas ketegaranmu menjalani peran barumu
Saya tahu Dik Uta sedih tapi kamu tetap tegar
Saya tahu Dik Uta takut, tapi kamu tetap tegar
Saya tahu Dik Uta lelah tapi kamu tetap tegar, mengurus saya, membersihkan, dan membalik badan saya setiap satu jam di malam hari
Saya tahu Dik Uta ingin jalan-jalan untuk hilangkan jenuh tapi kamu tetap tegar mendampingi saya karena saya tidak bisa ditinggal terlalu lama sendiri
Saya tahu Dik Uta selalu mengharapkan kata-kata cinta dari saya tapi kamu tetap tegar walau kamu tak pernah mendengar kata-kata itu

Hari ini kamu akan mendengarnya dari mulut saya

Dik Uta, aku cinta kamu tanpa batas.
Saya akan selalu bahagiakan kamu tanpa batas

Saya akan selalu ada untuk kamu tanpa batas

Mari kita tundukkan kepala kita sejenak saja untuk mengirimkan doa dan surat Al Fathihah, bagi kebahagiaan dan kedamaian abadi Almarhum Mas Pepeng yang telah berpulang kembali pada sang Khalik.

Doa kami selalu untuk guru kehidupanku dari orang yang mengagumi keluargamu,
Ayah Edy, Istri dan keluarga kami.


No comments:

Post a Comment