-- SEBUAH RENUNGAN UNTUK PARA ORANG TUA, GURU & PETINGGI NEGERI --
Syahdan di tengah-tengah hutan belantara Sumatera berdirilah sebuah
sekolah untuk para binatang dengan status “disamakan dengan manusia”,
sekolah ini dikepalai oleh seorang manusia.
Karena sekolah tersebut berstatus “disamakan”, maka tentu saja
kurikulumnya juga harus mengikuti kurikulum yang sudah standar dan telah
ditetapkan untuk manusia.
Kurikulum tersebut mewajibkan bahwa
untuk bisa lulus dan mendapatkan ijazah ; setiap siswa harus berhasil
pada lima mata pelajaran pokok dengan nilai minimal 8 pada masing-masing
mata pelajaran.
Adapun kelima mata pelajaran pokok tersebut adalah; Terbang, Berenang, Memanjat, Berlari dan Menyelam
Mengingat bahwa sekolah ini berstatus “Disamakan dengan manusia”, maka
para binatang berharap kelak mereka dapat hidup lebih baik dari binatang
lainya, sehingga berbondong-bondonglah berbagai jenis binatang
mendaftarkan diri untuk bersekolah disana; mulai dari; Elang, Tupai,
Bebek, Rusa dan Katak
Proses belajar mengajarpun akhirnya
dimulai, terlihat bahwa beberapa jenis binatang sangat unggul dalam mata
pelajaran tertentu;
Elang sangat unggul dalam pelajaran
terbang; dia memiliki kemampuan yang berada diatas binatang-binatang
lainnya dalam hal melayang di udara, menukik, meliuk-liuk, menyambar
hingga bertengger didahan sebuah pohon yang tertinggi.
Tupai
sangat unggul dalam pelajaran memanjat; dia sangat pandai, lincah dan
cekatan sekali dalam memanjat pohon, berpindah dari satu dahan ke dahan
lainnya. Hingga mencapai puncak tertinggi pohon yang ada di hutan itu.
Sementara bebek terlihat sangat unggul dan piawai dalam pelajaran
berenang, dengan gayanya yang khas ia berhasil menyebrangi dan mengitari
kolam yang ada didalam hutan tersebut.
Rusa adalah murid yang
luar biasa dalam pelajaran berlari; kecepatan larinya tak tertandingi
oleh binatang lain yang bersekolah di sana. Larinya tidak hanya cepat
melainkan sangat indah untuk dilihat.
Lain lagi dengan Katak,
ia sangat unggul dalam pelajaran menyelam; dengan gaya berenangnya yang
khas, katak dengan cepatnya masuk kedalam air dan kembali muncul
diseberang kolam.
Begitulah pada mulanya mereka adalah
murid-murid yang sangat unggul dan luar biasa dimata pelajaran tertentu.
Namun ternyata kurikulum telah mewajibkan bahwa mereka harus meraih
angka minimal 8 di semua mata pelajaran untuk bisa lulus dan mengantongi
ijazah.
Inilah awal dari semua kekacauan.itu; Para binatang
satu demi satu mulai mempelajari mata pelajaran lain yang tidak dikuasai
dan bahkan tidak disukainya.
Burung elang mulai belajar cara
memanjat, berlari, namun sayang sekali untuk pelajaran berenang dan
menyelam meskipun telah berkali-kali dicobanya tetap saja ia gagal; dan
bahkan suatu hari burung elang pernah pingsan kehabisan nafas saat
pelajaran menyelam.
Tupaipun demikian; ia berkali-kali jatuh
dari dahan yang tinggi saat ia mencoba terbang. Alhasil bukannya bisa
terbang tapi tubuhnya malah penuh dengan luka dan memar disana-sini.
Lain lagi dengan bebek, ia masih bisa mengikuti pelajaran berlari
meskipun sering ditertawakan karena lucunya, dan sedikit bisa terbang;
tapi ia kelihatan hampir putus asa pada saat mengikuti pelajaran
memanjat, berkali-kali dicobanya dan berkali-kali juga dia terjatuh,
luka memar disana sini dan bulu-bulunya mulai rontok satu demi satu.
Demikian juga dengan binatang lainya; meskipun semua telah berusaha
dengan susah payah untuk mempelajari mata pelajaran yang tidak
dikuasainya, dari pagi hingga malam, namun tidak juga menampakkan hasil
yang lebih baik.
Yang lebih menyedihkan adalah karena mereka terfokus untuk dapat berhasil di mata pelajaran yang tidak dikuasainya;
perlahan-lahan Elang mulai kehilangan kemampuan terbangnya; tupai sudah
mulai lupa cara memanjat, bebek sudah tidak dapat lagi berenang dengan
baik, sebelah kakinya patah dan sirip kakinya robek-robek karena terlalu
banyak berlatih memanjat. Katak juga tidak kuat lagi menyelam karena
sering jatuh pada saat mencoba terbang dari satu dahan ke dahan lainnya.
Dan yang paling malang adalah Rusa, ia sudah tidak lagi dapat berlari
kencang, karena paru-parunya sering kemasukan air saat mengikuti
pelajaran menyelam.
Akhirnya tak satupun murid berhasil lulus
dari sekolah itu; dan yang sangat menyedihkan adalah merekapun mulai
kehilangan kemampuan aslinya setelah keluar dari sekolah.
Mereka tidak bisa lagi hidup dilingkungan dimana mereka dulu tinggal,
ya.... kemampuan alami mereka telah terpangkas habis oleh kurikulum
sekolah tersebut. Sehingga satu demi satu binatang-binatang itu mulai
mati kelaparan karena tidak bisa lagi mencari makan dengan kemampuan
unggul yang dimilikinya..
Tidakkah kita menyadari bahwa sistem
persekolahan manusia yang ada saat inipun tidak jauh berbeda dengan
sistem persekolahan binatang dalam kisah ini. Kurikulum sekolah telah
memaksa anak-anak kita untuk menguasai semua mata pelajaran dan
melupakan kemampuan unggul mereka masing-masing.
Kurikulum dan
sistem persekolahan telah memangkas kemampuan alami anak-anak kita untuk
bisa berhasil dalam kehidupan menjadi anak yang hanya bisa menjawab
soal-soal ujian.
Akankah nasib anak-anak kita kelak juga mirip dengan nasib para binatang yang ada disekolah tersebut?
By Thomas Amstrong 1990
Modify by Ayah Edy 2003
Keluarga Indonesia yg peduli pendidikan anak bangsa,
Bila kita kaji lebih jauh produk dari sistem pendidikan kita saat ini
bahkan jauh lebih menyeramkan dari apa yang digambarkan oleh fabel
tersebut; bayangkan betapa para lulusan dari sekolah saat ini lebih
banyak hanya menjadi pencari kerja dari pada pencipta lapangan kerja,
betapa banyak para lulusan yang bekerja tidak sesuai dengan latar
belakang pendidikan yang digelutinya selama bertahun-tahun, sebuah
pemborosan waktu, tenaga dan biaya.
Betapa para lulusan sekolah
tidak tahu akan dunia kerja yang akan dimasukinya, jangankan kemapuan
keahlian, bahkan pengetahuan saja sangatlah pas-pasan, betapa hampir
setiap siswa lanjutan atas dan perguruan tinggi jika ditanya apa
kemampuan unggul mereka, hampir sebagian besar tidak mampu menjawab atau
menjelaskannya.
Begitupun setelah mereka berhasil mendapatkan
pekerjaan, berapa banyak dari mereka yang tidak memberikan unjuk kerja
yang terbaik serta berapa banyak dari mereka yang merasa tidak bahagia
dengan pekerjaanya.
Belum lagi kita bicara tentang carut marut
dunia pendidikan yang kerapkali dihiasi tidak hanya oleh tawuran pelajar
melainkan juga tawuran mahasiswa. Luar biasa “Maha Siswa” julukan yang
semestinya dapat dibanggakan dan begitu agung karena Mahasiswa adalah
bukan siswa biasa melainkan siswa yang “Maha”. Namun nyatanya ya Tawuran
juga.
Apa yang menjadi biang keladi dari kehancuran sistem pendidikan di negeri ini...?
1. Sistem yang tidak menghargai proses
Belajar adalah proses dari tidak bisa menjadi bisa. Hasil akhir adalah
buah dari kerja setiap proses yang dilalui. Sayangnya proses ini sama
sekali tidak dihargai; siswa tidak pernah dinilai seberapa keras dia
berusaha melalui proses. Melainkan hanya semata-mata ditentukan oleh
ujian akhir.
2. Sistem yang hanya mengajari anak untuk menhafal bukan belajar dalam arti sesunguhnya
Apa beda belajar dengan menghafal; Produk dari sebuah pembelajaran
kemampuan atau keahlian yang dikuasai terus menerus. Contoh yang paling
sederhana adalah pada saat anak belajar sepeda. Mulai dari tidak bisa
menjadi bisa, dan setelah bisa ia akan bisa terus sepanjang masa.
Sementara produk dari menghafal adalah ingatan jangka pendek yang dalam
waktu singkat akan cepat dilupakan.
Perbedaan lain bahwa belajar membutuhkan waktu lebih panjang sementara menghafal bisa dilakukan hanya dalam 1 malam saja.
Padahal pada hakekatnya Manusia dianugrahi susunan otak yang paling tinggi derajadnya dibanding mahluk manapun didunia.
Fungsi tertinggi dari otak manusia tersebut disebut sebagai cara
berpikir tingkat tinggi atau HOT; yang direpresentasikan melalui
kemampuan kreatif atau bebas mencipta serta berpikir analisis-logis;
sementara fungsi menghafal hanyalah fungsi pelengkap.
Keberhasilan seorang anak kelak bukan ditentukan oleh kemampuan
hafalannya melainkan oleh kemampuan kreatif dan berpikir kritis
analisis.
3. Sistem sekolah yang berfokus pada nilai
Nilai yang biasanya diwakili oleh angka-angka biasanya dianggap sebagai penentu hidup dan matinya seorang siswa.
Begitu sakral dan gentingnya arti sebuah nilai pelajaran sehingga semua
pihak mulai guru, orang tua dan anak akan merasa rasah dan stress jika
melihat siswanya mendapat nilai rendah atau pada umumnya dibawah angka 6
(enam).
Setiap orang dikondisikan untuk berlomba-lomba
mencapai nilai yang tinggi dengan cara apapun tak perduli apakah si
siswa terlihat setangah sekarat untuk mencapainya.
Nyatanya toh
dalam kehidupan nyata, nilai pelajaran yang begitu dianggung-anggungkan
oleh sekolah tersebut tidak berperan banyak dalam menentukan sukses
hidup seseorang.
Dan lucunya sebagian besar kita dapati anak
yang dulu saat masih bersekolah memiliki nilai pas-pasan atau bahkan
hancur, justru lebih banyak meraih sukses dikehidupan nyata.
Mari kita ingat-ingat kembali saat kita masih bersekolah dulu; betapa
bangganya seseorang yang mendapat nilai tinggi dan betapa hinanya anak
yang medapat nilai rendah; dan bahkan untuk mempertegas kehinaan ini,
biasanya guru menggunakan tinta dengan warna yang lebih menyala dan
mencolok mata.
Sementara jika kita kaji lagi; apakah sesungguhnya representasi dari sebuah nilai yang diagung-agungkan disekolah itu...?
Nilai sesungguhnya hanyalah representasi dari kemampuan siswa dalam
“menghapal” pelajaran dan “subjektifitas” guru yang memberi nilai
tersebut terhadap siswanya.
Meskipun kerapkali guru
menyangkalnya, cobalah anda ingat-ingat; berapa lama anda belajar untuk
mendapatkan nilai tersebut; apakah 3 bulan...? 1 bulan..? atau cukup
hanya semalam saja..?
Kemudian coba ingat-ingat kembali, jika
dulu saat bersekolah, ada diantara anda yang pernah bermasalah dengan
salah seorang guru; apakah ini akan mempengaruhi nilai yang akan anda
peroleh..?
Jadi wajar saja; meskipun kita banyak memiliki orang
“pintar” dengan nilai yang sangat tinggi; negeri ini masih tetap saja
tertinggal jauh dari negara-negara maju. Karena pintarnya hanya pintar
menghafal dan menjawab soal-soal ujian.
4. Sistem pendidikan yang Seragam-sama untuk setiap anak yang berbeda-beda
Siapapun sadar bahwa bila kita memiliki lebih dari 1 atau 2 orang anak;
maka bisa dipastikan setiap anak akan berbeda-beda dalam berbagai hal.
Andalah yang paling tahu perbedaan-perbedaanya. Namun sayangnya anak
yang berbeda tersebut bila masuk kedalam sekolah akan diperlakukan
secara sama, diproses secara sama dan diuji secara sama.
Menurut hasil penelitian Ilmu Otak/Neoro Science jelas-jelas ditemukan
bahwa satiap anak memiliki kelebihan dan sekaligus kelemahan dalam
bidang yang berbeda-beda.
Mulai dari Instingtif otak kiri dan
kanan, Gaya Belajar dan Kecerdasan Beragam. Sementara sistem pendidikan
seolah-oleh menutup mata terhadap perbedaan yang jelas dan nyata
tersebut yakni dengan mengyelenggaraan sistem pendidikan yang sama dan
seragam.
Oleh karena dalam setiap akhir pembelajaran akan
selalu ada anak-anak yang tidak bisa/berhasil menyesuaikan dengan sistem
pendidikan yang seragam tersebut.
5. Sekolah adalah Institusi Pendidikan yang tidak pernah mendidik
Sekilas judul ini tampaknya membingungkan; tapi sesungguhnya inilah yang terjadi pada lembaga pendidikan kita.
Apa beda mendidik dengan mengajar...?
Ya.. tepat!, mendidik adalah proses membangun moral/prilaku atau
karakter anak sementara mengajar adalah mengajari anak dari tidak tahu
menjadi tahu dan dari tidak bisa menjadi bisa.
Produk dari
pengajaran adalah terbangunnya cara berpikir kritis dan kreatif yang
berhubungan dengan intelektual sementara produk dari pendidikan adalah
terbangunnya prilaku/akhlak yang baik.
Ya..! memang betul dalam
kurikulum ada mata pelajaran Agama, Moral Panca Sila, Civic dan
sebagainya namun dalam aplikasinya disekolah guru hanya memberikan
sebatas hafalan saja; bukan aplikasi dilapangan.
Demikian juga
ujiannya dibuat berbasiskan hafalan; seperti hafalan butir-butir Panca
Sila dsb. Tidak berdasarkan aplikasi siswa dilapangan seperti praktek di
panti-panti jompo; terjun menjadi tenaga sosial, dengan sistem
penilaian yang berbasiskan aplikasi dan penilaian masyarakat (user base
evaluation).
Jadi wajar saja jika anak-anak kita tidak pernah
memiliki nilai moral yang tertanam kuat di dalam dirinya; melainkan
hanya nilai moral yang melintas semalam saja dikepalanya dalam rangka
untuk dapat menjawab soal-soal ujian besok paginya.
Mari kita renungkan bersama !
by ayah edy
Indonesia pada hakikatnya merupakan kumpulan dari keluarga yg tersebar dilebih dari 12.000 pulau yg ada di Nusantara. Apabila keluarga2 ini kuat, maka Indonesia akan menjadi Bangsa & Negara yg Kuat dgn sendirinya tanpa perlu konsep yg berbelit-belit & biaya yg membebani negara. Pastikan keluarga & sanak famili kita di seluruh tanah air telah bergabung dlm GERAKAN MEMBANGUN INDONESIA YANG KUAT DARI KELUARGA. Kalau bukan kita, siapa lagi ? Kalau bukan sekarang, kapan lagi ?
SATU-SATUNYA SITUS RESMI AYAH EDY
Tuesday, April 16, 2013
Sunday, April 14, 2013
PIDATO ANAK SMA YG MENGGETARKAN DUNIA
SEANDAINYA ....
ya seandainya saja sistem pendidikan kita di Indonesia bisa mencetak lulusan SMA yg bisa berpikir seperti ini; berpidato seperti anak ini dan bukan seperti di gambar ini sebagai perayaan bagi kelulusannya...
Mungkin negeri ini bisa segera sembuh dari penyakitnya....
BERIKUT PIDATO ANAK SMA YANG GETARKAN DUNIA ITU DALAM ACARA KELULUSANNYA
Pidato Kelulusan Pelajar SMA yang menggetarkan dan menggugat kesadaran kita atas makna sistem pendidikan, pidato ini diucapkan oleh Erica Goldson, pelajar di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010.
“Saya lulus, Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya.
Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya.
Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam MELAKUKAN APA YG DIPERINTAHKAN GURU kepada saya dan juga dalam hal MENGIKUTI SISTEM YANG ADA.
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini.
Saya akan pergi, di musim dingin ini dan menuju tahap rencana berikut yang akan datang kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – BUKAN SEORANG PEKERJA. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya.
Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara sangat baik.
Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai untuk selalu mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu.
Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi dan tujuan yg jelas, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan dan kewajiban untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, memenuhi keinginan orang lain, sekolah dan mungkin orang tua saya, bukan untuk belajar dalam arti yg sesungguhnya.
Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”
Tayangan Video Pidato tersebut dapat juga di lihat di sini : http://americaviaerica.blogspot.com/p/speech.html
Pidato Kelulusan Pelajar SMA yang menggetarkan dan menggugat kesadaran kita atas makna sistem pendidikan, pidato ini diucapkan oleh Erica Goldson, pelajar di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010.
“Saya lulus, Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya.
Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya.
Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam MELAKUKAN APA YG DIPERINTAHKAN GURU kepada saya dan juga dalam hal MENGIKUTI SISTEM YANG ADA.
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini.
Saya akan pergi, di musim dingin ini dan menuju tahap rencana berikut yang akan datang kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – BUKAN SEORANG PEKERJA. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya.
Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara sangat baik.
Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai untuk selalu mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu.
Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi dan tujuan yg jelas, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan dan kewajiban untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, memenuhi keinginan orang lain, sekolah dan mungkin orang tua saya, bukan untuk belajar dalam arti yg sesungguhnya.
Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”
Tayangan Video Pidato tersebut dapat juga di lihat di sini : http://americaviaerica.blogspot.com/p/speech.html
FINLANDIA MEMILKI SISTEM PENDIDIKAN TERBAIK DI DUNIA
Ah..... tawuran pelajar.... nyontek berjamaah.... bocoran soal Ujian Nasional.....Perkosaan anak2 sekolah dasar.... Pelecehan guru pada siswa....Bulliying kakak kelas pada adik kelas.....
Ada apa sich dengan sistem pendidikan di Indonesia ???
Tadi malam setelah kami selesai siaran di Sindo TV, sempat berbincang2 dengan Chantall Della Concetta, presenter acara tsb melanjutkan obrolan kita.
Ada apa sich dengan sistem pendidikan di Indonesia ???
Tadi malam setelah kami selesai siaran di Sindo TV, sempat berbincang2 dengan Chantall Della Concetta, presenter acara tsb melanjutkan obrolan kita.
Saya bercerita
tentang sistem pendidikan di FINLANDIA pada Chantall, yang diakui
menerapkan sistem Pendidikan (Sekolah) terbaik di dunia.
Tiba2 saja Chantall menimpali, katanya dulu ia semasa masih di Metro TV pernah dikirim meliput di Finlandia,
"Wah ayah...katanya..., penduduknya luar biasa.... santun ramah, dan yg menakjubkan katanya jika kita parkir mobil dimana saja tidak perlu di kunci, dan jika ada benda2 berharga bisa ditinggal di mobil tanpa perlu khawatir ada yg mencurinya...." Begitu katanya....
Jadi ternyata SISTEM PENDIDIKAN itu yg menentukan potret sebuah bangsa, jadi jika potret bangsanya Amburadul seperti ini, pasti sistem Pendidikan dan para penyelenggaranya juga amburadul
Begitulah kira-kira kesimpulan dari obrolan kami malam itu di Studio Sindo TV.
Lalu seperti apa sich SISTEM PENDIDIKAN TERBAIK DI DUNIA ITU ???
Berikut penuturan dari Syed Abdul Rahman Alsagoff
Foundar Arabic School in Singapore
Sekolah tertua yg didirikan oleh Swasta di Singapura; Sumber; Channel News Asia , 6 Mei 2009
Mengatakan bahwa ternyata di Finlandia itu tidak ada:
1. Akreditasi (Pemeringkatan) sekolah oleh pemerintah, yg ada akreditasi oleh Masyarakat; Jadi masyarakat melihat langsung apakah anak mereka yg didik di sekolah tersebut menjadi semakin baik, beretika dan cerdas atau malah sebaliknya. Jadi sekolah tidak dinilai oleh satu pihak saja, yakni Pemerintah, melalui Stnadar tunggal yg bisa saja keliru (dan jika keliru maka seluruh bangsa akan menganggung akibatnya) ; melainkan langsung oleh usernya yakni masyarakat. Jadi sekolah berusaha untuk menjadi yg terbaik dengan memberikan bukti langsung kepada masyarakat yg menilainya. Fungsi pemerintah lebih sebagai konselor atau Konsultan Pembimbing bagi sekolah dan mengembangkan sistem sekolahnya bukan Lembaga Akreditasi. Mencatat sekolah2 yg dianggap berhasil oleh masyarakat dan membantu sekolah2 yg belum dianggap berhasil.
2. Tidak ada kurikulum tunggal yg ditetapkan oleh Pemerintah pusat, Setiap sekolah diberikan kebebasan mengembangkan kurikulum sendiri sesuai dengan potensi unggul daerahnya masing2. Jadi sepertinya jika sekolah itu di terletak di Bali mungkin yg lebih di utamakan adalah kurikulum pengembangan Budaya, Seni Tari, Ukir, Pahat dan sejnisnya. Jika dikalimantan mungkin tentang Batuan berharga, Gambut, Batubara, dan Budidaya Hutan, Jika di Maluku mungkin Perikanan dan budidaya kelautan dan sejenisnya. Wow !!! Pastinya akan banyak para ahli lokal yg pandai memanfaatkan potensi daerahnya.
3. Tidak ada standar ujian negara, melain berbasiskan pada proses hasil pembelajaran dari hari ke hari dari masing-masing anak, tanpa dibandingkan melalui sistem Rangking. Jadi tujuan pembelajaran adalah untuk menjadikan anak yg terbaik sesuai bidang yg diminati dan kemampuannya sendiri-sendiri bukan untuk mengejar peringkat dalam satu kelas atau satu sekolah. (karena prinsip pendidikan adalah mencerdaskan semua anak bukan untuk Merangking mereka dari yg terpintar hingga yg terbodoh)
4. Dan yg paling mengesankan adalah tidak ada standar Nasional KECUKUPAN MINIMAL untuk Nilai masing2 pelajaran (karena tiap anak memiliki kecepatan belajar yg berbeda2 dan kemampuan berbeda untuk bidang pelajaran yg berbeda).
Yang ada justru STANDAR NASIONAL ETIKA MORAL ANAK. Jadi setiap sekolah wajib mendidik setiap murid mereka memenuhi STANDAR ETIKA MORAL NASIONAL sebagai Pondasi Dasar membantuk Bangsa Yang Kuat dan Cerdas.
Jadi meskipun sekolah mereka memiliki kurikulum yg berbeda2 dengan spesialisasi kecakapan Bidang yg berbeda di sesuaikan dengan potensi daerahnya masing2 Namun setiap sekolah harus bisa menjamin bahwa setiap muridnya memiliki ETIKA MORAL YG STANDAR SECARA NASIONAL.
Wah.... sepertinya kok tidak terlalu sulit ya untuk mengikuti dan menjadi Negara dengan Sistem Pendidikan Terbaik di Dunia. Tentunya jika kita mau !!
Tiba2 saja Chantall menimpali, katanya dulu ia semasa masih di Metro TV pernah dikirim meliput di Finlandia,
"Wah ayah...katanya..., penduduknya luar biasa.... santun ramah, dan yg menakjubkan katanya jika kita parkir mobil dimana saja tidak perlu di kunci, dan jika ada benda2 berharga bisa ditinggal di mobil tanpa perlu khawatir ada yg mencurinya...." Begitu katanya....
Jadi ternyata SISTEM PENDIDIKAN itu yg menentukan potret sebuah bangsa, jadi jika potret bangsanya Amburadul seperti ini, pasti sistem Pendidikan dan para penyelenggaranya juga amburadul
Begitulah kira-kira kesimpulan dari obrolan kami malam itu di Studio Sindo TV.
Lalu seperti apa sich SISTEM PENDIDIKAN TERBAIK DI DUNIA ITU ???
Berikut penuturan dari Syed Abdul Rahman Alsagoff
Foundar Arabic School in Singapore
Sekolah tertua yg didirikan oleh Swasta di Singapura; Sumber; Channel News Asia , 6 Mei 2009
Syed Abdul Rahman Alsagoff
Mengatakan bahwa ternyata di Finlandia itu tidak ada:
1. Akreditasi (Pemeringkatan) sekolah oleh pemerintah, yg ada akreditasi oleh Masyarakat; Jadi masyarakat melihat langsung apakah anak mereka yg didik di sekolah tersebut menjadi semakin baik, beretika dan cerdas atau malah sebaliknya. Jadi sekolah tidak dinilai oleh satu pihak saja, yakni Pemerintah, melalui Stnadar tunggal yg bisa saja keliru (dan jika keliru maka seluruh bangsa akan menganggung akibatnya) ; melainkan langsung oleh usernya yakni masyarakat. Jadi sekolah berusaha untuk menjadi yg terbaik dengan memberikan bukti langsung kepada masyarakat yg menilainya. Fungsi pemerintah lebih sebagai konselor atau Konsultan Pembimbing bagi sekolah dan mengembangkan sistem sekolahnya bukan Lembaga Akreditasi. Mencatat sekolah2 yg dianggap berhasil oleh masyarakat dan membantu sekolah2 yg belum dianggap berhasil.
2. Tidak ada kurikulum tunggal yg ditetapkan oleh Pemerintah pusat, Setiap sekolah diberikan kebebasan mengembangkan kurikulum sendiri sesuai dengan potensi unggul daerahnya masing2. Jadi sepertinya jika sekolah itu di terletak di Bali mungkin yg lebih di utamakan adalah kurikulum pengembangan Budaya, Seni Tari, Ukir, Pahat dan sejnisnya. Jika dikalimantan mungkin tentang Batuan berharga, Gambut, Batubara, dan Budidaya Hutan, Jika di Maluku mungkin Perikanan dan budidaya kelautan dan sejenisnya. Wow !!! Pastinya akan banyak para ahli lokal yg pandai memanfaatkan potensi daerahnya.
3. Tidak ada standar ujian negara, melain berbasiskan pada proses hasil pembelajaran dari hari ke hari dari masing-masing anak, tanpa dibandingkan melalui sistem Rangking. Jadi tujuan pembelajaran adalah untuk menjadikan anak yg terbaik sesuai bidang yg diminati dan kemampuannya sendiri-sendiri bukan untuk mengejar peringkat dalam satu kelas atau satu sekolah. (karena prinsip pendidikan adalah mencerdaskan semua anak bukan untuk Merangking mereka dari yg terpintar hingga yg terbodoh)
4. Dan yg paling mengesankan adalah tidak ada standar Nasional KECUKUPAN MINIMAL untuk Nilai masing2 pelajaran (karena tiap anak memiliki kecepatan belajar yg berbeda2 dan kemampuan berbeda untuk bidang pelajaran yg berbeda).
Yang ada justru STANDAR NASIONAL ETIKA MORAL ANAK. Jadi setiap sekolah wajib mendidik setiap murid mereka memenuhi STANDAR ETIKA MORAL NASIONAL sebagai Pondasi Dasar membantuk Bangsa Yang Kuat dan Cerdas.
Jadi meskipun sekolah mereka memiliki kurikulum yg berbeda2 dengan spesialisasi kecakapan Bidang yg berbeda di sesuaikan dengan potensi daerahnya masing2 Namun setiap sekolah harus bisa menjamin bahwa setiap muridnya memiliki ETIKA MORAL YG STANDAR SECARA NASIONAL.
Wah.... sepertinya kok tidak terlalu sulit ya untuk mengikuti dan menjadi Negara dengan Sistem Pendidikan Terbaik di Dunia. Tentunya jika kita mau !!
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,
Seandainya anak kita bersekolah dengan sistem seperti ini sudah kebayang ya akan menjadi sangat luar biasa !!!.
Bersekolah akan menjadi hal yg menarik, menyenangkan sekaligus menantang dan tidak lagi membosankan dan menekan kejiwaan anak.
Dengan adanya Etika Moral yg di Standardisasi secara Nasional pastinya tidak akan ada lagi TAWURAN MASAL PELAJAR, Genk Nero, Genk Motor, dan sejenisnya di Jalanan. Anak akan menjadi respect pada guru dan orang tua, lebih beretika di sekolah, di jalan dan dirumah.
Dengan adanya sistem yg mengedepankan kecakapan individual dan tidak ada lagi sistem ujian dengan standar soal dan jawaban yg sama pastinya tidak akan ada lagi contek mencontek.
Tiap siswa akan tampil menjadi terbaik pada bidang kecakapan masing-masing yg memang menjadi bakat dan kelebihannya dan bukan dipacu dan ditekan untuk meningkatkan nilai atau bidang yg menjadi kelemahanya dengan cara ikut Bimbll atau Les siang, malam, pagi, sore.
Sekaligus masing2 anak-anak, Guru dan Orang Tuanya gak Stress lagi oleh Momok Nasional yg bernama Ujian Nasional, karena mereka di nilai bukan dari Ujian Akhir melainkan melalui proses perkembangan belajar dan penguasaan dari hari ke hari, sekaligus mereka juga dikembangkan berdasarkan kemampuan dan kecakapan bidang masing-masing, tidak untuk di Rangking, yg bisa berakibat sangat memalukan jika mereka termasuk 10 besar dari bawah.
Berkaca pada Syed Abdul Rahman Alsagoff sang Founder Arabic School di Singapore yg mau dan bisa melakukan perubahan dengan memulainya dari dirisendiri dan sekolahnya sendiri, kitapun mestinya bisa melakukan hal yg sama di Indonesia.
Jika Singapura bisa Indonesia Pasti Bisa !!!
Jika kita mau pasti bisa !!! dan bukan sebaliknya, Jika bisa sich sebenarnya kita mau !!!!
Ya Persis memulai perubahan mulai dari diri sendiri dan sekolah kita sendiri !!!
Seandainya anak kita bersekolah dengan sistem seperti ini sudah kebayang ya akan menjadi sangat luar biasa !!!.
Bersekolah akan menjadi hal yg menarik, menyenangkan sekaligus menantang dan tidak lagi membosankan dan menekan kejiwaan anak.
Dengan adanya Etika Moral yg di Standardisasi secara Nasional pastinya tidak akan ada lagi TAWURAN MASAL PELAJAR, Genk Nero, Genk Motor, dan sejenisnya di Jalanan. Anak akan menjadi respect pada guru dan orang tua, lebih beretika di sekolah, di jalan dan dirumah.
Dengan adanya sistem yg mengedepankan kecakapan individual dan tidak ada lagi sistem ujian dengan standar soal dan jawaban yg sama pastinya tidak akan ada lagi contek mencontek.
Tiap siswa akan tampil menjadi terbaik pada bidang kecakapan masing-masing yg memang menjadi bakat dan kelebihannya dan bukan dipacu dan ditekan untuk meningkatkan nilai atau bidang yg menjadi kelemahanya dengan cara ikut Bimbll atau Les siang, malam, pagi, sore.
Sekaligus masing2 anak-anak, Guru dan Orang Tuanya gak Stress lagi oleh Momok Nasional yg bernama Ujian Nasional, karena mereka di nilai bukan dari Ujian Akhir melainkan melalui proses perkembangan belajar dan penguasaan dari hari ke hari, sekaligus mereka juga dikembangkan berdasarkan kemampuan dan kecakapan bidang masing-masing, tidak untuk di Rangking, yg bisa berakibat sangat memalukan jika mereka termasuk 10 besar dari bawah.
Berkaca pada Syed Abdul Rahman Alsagoff sang Founder Arabic School di Singapore yg mau dan bisa melakukan perubahan dengan memulainya dari dirisendiri dan sekolahnya sendiri, kitapun mestinya bisa melakukan hal yg sama di Indonesia.
Jika Singapura bisa Indonesia Pasti Bisa !!!
Jika kita mau pasti bisa !!! dan bukan sebaliknya, Jika bisa sich sebenarnya kita mau !!!!
Ya Persis memulai perubahan mulai dari diri sendiri dan sekolah kita sendiri !!!
ANAK SD DI JEPANG VS SD DI INDONESIA
Anak saya bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota
Tokyo, Jepang. Pekan lalu, saya diundang untuk menghadiri acara “open
school” di sekolah tersebut. Kalau di
Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SD Negeri yang banyak tersebar di
pelosok nusantara. Biaya sekolahnya gratis dan lokasinya di sekitar
perumahan.
Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.
Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi “by default”, namun pastilah “by design”. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.
Dan saat saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya “Moral”. Moral menjadi fondasi yang ditanamkan “secara sengaja” pada anak-anak di Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.
Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang.
Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.
Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.
Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.
Empat kali dalam seminggu, anak saya kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.
Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara tentang materi.
Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah di Jepang.
Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan terpateri di anak.
Dengan kata lain, orang tua tidak “membongkar” apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak.
Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan minuman.
Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.
Saya sendiri bukan seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik. Namun sebagai orang tua yang kemarin kebetulan melihat sistem pendidikan dasar di SD Negeri Jepang, saya tercenung. Mata pelajaran yang menurut saya “berat” dan kerap di-“paksa” harus hafal di SD kita, tidak terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang saya pikir cukup berat hanyalah huruf Kanji.
Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.
Besarnya kekuatan industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi canggih, hanyalah ujung yang terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu semua ada sebuah perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter. Ibarat pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar.
Sistem pendidikan Jepang seperti di atas tadi, berlaku seragam di seluruh sekolah. Apa yang ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di semua sekolah hingga pelosok negeri. Mungkin di negeri kita banyak juga sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu nilai moral sudah berkurang di sana.
Di Jepang, masalah pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, dan Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut dengan Monkasho. Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan mengatur proses didik anak-anak di Jepang. MEXT menyadari bahwa pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.
Mudah-mudahan dikeluarkannya kata “Budaya” dari Departemen “Pendidikan dan Kebudayaan” sehingga “hanya” menjadi Departemen “Pendidikan Nasional” di negeri kita, bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai melupakan “Budaya”, yang di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti.
Hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi. Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita untuk menghafal ilmu-ilmu “penting” lainnya.
Demikian sekedar catatan saya dari menghadiri pertemuan orang tua di SD Jepang.
Salam.
Sumber: edukasi.kompasiana.com
Bandingkan dengan SD kita yg masih saja meributkan ANAK-ANAK SD HARUS SUDAH BISA CALISTUNG dan KKM, REMIDIAL, TES dan UAN.
Mari kita renungkan dan mari kita bagikan ke sebanyak2 orang yg semestinya mengetahui hal ini terutama di Kementrian Pendidikan Nasional agar mengetahui hal ini sebagai bahan pembelajaran dan segera melakukan perubahan yg mendasar terhadap sistem persekolahan di Indonesia.
Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.
Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi “by default”, namun pastilah “by design”. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.
Dan saat saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya “Moral”. Moral menjadi fondasi yang ditanamkan “secara sengaja” pada anak-anak di Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.
Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang.
Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.
Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.
Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.
Empat kali dalam seminggu, anak saya kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.
Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara tentang materi.
Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah di Jepang.
Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan terpateri di anak.
Dengan kata lain, orang tua tidak “membongkar” apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak.
Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan minuman.
Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.
Saya sendiri bukan seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik. Namun sebagai orang tua yang kemarin kebetulan melihat sistem pendidikan dasar di SD Negeri Jepang, saya tercenung. Mata pelajaran yang menurut saya “berat” dan kerap di-“paksa” harus hafal di SD kita, tidak terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang saya pikir cukup berat hanyalah huruf Kanji.
Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.
Besarnya kekuatan industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi canggih, hanyalah ujung yang terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu semua ada sebuah perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter. Ibarat pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar.
Sistem pendidikan Jepang seperti di atas tadi, berlaku seragam di seluruh sekolah. Apa yang ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di semua sekolah hingga pelosok negeri. Mungkin di negeri kita banyak juga sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu nilai moral sudah berkurang di sana.
Di Jepang, masalah pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, dan Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut dengan Monkasho. Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan mengatur proses didik anak-anak di Jepang. MEXT menyadari bahwa pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.
Mudah-mudahan dikeluarkannya kata “Budaya” dari Departemen “Pendidikan dan Kebudayaan” sehingga “hanya” menjadi Departemen “Pendidikan Nasional” di negeri kita, bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai melupakan “Budaya”, yang di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti.
Hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi. Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita untuk menghafal ilmu-ilmu “penting” lainnya.
Demikian sekedar catatan saya dari menghadiri pertemuan orang tua di SD Jepang.
Salam.
Sumber: edukasi.kompasiana.com
Bandingkan dengan SD kita yg masih saja meributkan ANAK-ANAK SD HARUS SUDAH BISA CALISTUNG dan KKM, REMIDIAL, TES dan UAN.
Mari kita renungkan dan mari kita bagikan ke sebanyak2 orang yg semestinya mengetahui hal ini terutama di Kementrian Pendidikan Nasional agar mengetahui hal ini sebagai bahan pembelajaran dan segera melakukan perubahan yg mendasar terhadap sistem persekolahan di Indonesia.
JELI MEMILIH SEKOLAH YANG COCOK UNTUK ANAK KITA
Hampir semua sekolah saat ini mengklaim dirinya sebagai sekolah unggulan dengan berbagai variasi kata seperti sekolah Teladan, sekolah Favorit, terkareditasi A dsb. namun nyatanya begitu anak kita disekolahkan di sana malah dinyatakan bermasalah atau mogok sekolah.
Yang lebih buruk lagi sekolah yang mengklaim dirinya unggulan tadi tidak mampu membuat semua anak menjadi anak yang unggul dibidangnya masing-masing, padahal untuk bisa masuk saja anak kita harus di saring dulu, dipilih dulu mana yang layak di didik dan tidak layak didik.
Bagaimana mungkin sebuah mesin yang bahan bakunya emas dan hanya menghasilkan emas kembali bisa dikatakan sebagai mesin yang unggul. Bahkan tukang emas di pasar pun sangat pandai untuk membuat perhiasan emas dari bahan baku emas. Justru sebuah mesin yang hebat dan unggul mestinya mampu membuat sesuatu dari bahan baku yang dianggap tak bernilai/sampah menjadi suatu produk yang bernilai jual seperti emas.
Oleh karena itu agar kita tidak bingung dan terjebak pada persaingan promosi Sekolah ada baiknya kita membaca ciri-ciri sekolah yang benar-benar unggul yang nantinya bisa dipastikan akan membuat anak-anak kita benar-benar unggul di kehidupan nyata.
Berikut ini ada sebuah tulisan yang mungkin baisa membantu kita semua para orang tua yang hendak mencari sekolah bagi putra-putrinya.
I. Hasil Penelitian Pada Sistem Sekolah yang ada pada umumnya:
Berpusat pada Jasmani saja, bukan pada Jasmani dan Rohani (Holistic) kurangnya pemahaman mengenai aspek rohani yang meliputi fungsi-fungsi kerja otak dan psikologi perkembangan anak dll.
Berpusat pada kepentingan guru bukan murid (yang penting sdh ngajar tak perduli murid mengerti atau tidak) Pertanyaan yang lazim diantara para guru dan kepala sekolah....eh sudah sampai dimana ngajarnya....? wah aku mesti ngebut nich waktunya sudah hampir habis.
Berpusat pada target materi/kurikulum bukan dinamika kelas (yang penting target selesai, tak perduli kelas pasif, ribut atau murid bolos sekalipun)
Berpusat pada pemahaman fungsi otak yang terbatas (IQ) bukan pada Multiple Intelligence (Kecerdasan Unik tanpa batas) Pengakuan anak pandai yang sangat terbatas pada kemampuan Eksakta & Verbal. “Jadi wajar bila dalam tiap kelas paling-paling Cuma ada 5 orang saja yang pandai dan bisa mengikuti pelajaran dengan baik.
Berpusat pada kemampuan Naluri Mengajar bukan pada keahlian profesional mengajar berdasarkan pelatihan. (Sebagian besar guru mengajar berdasarkan naluri dan sedikit pengalaman bagaimana mereka dulu di ajar)
Berpusat pada LOWER ORDER THINKING bukan Highly Order Thinking. (Menghapal soal yang Jawaban sudah ada/dimiliki gurunya)
Berpusat pada 1 Model TES (Verbal Test Model/Schoolastic Aptitude Test) bukan berdasarkan tes beragam yang disesuaikan dengan jenis bidang dan mata pelajaran dan keunggulan spesifik anak.
Berpusat pada hasil akhir (hanya sebagai uji ingatan bukan pada proses perbaikan yang diamati dan dicatat dari waktu kewaktu)
Berpusat pada proses Imaginatif bukan realitas (anak kita tidak pernah mengerti manfaat ilmu yang diajarkan bagi realitas hidup mereka kelak)
Guru sebagai sumber kebenaran (sindrom Teko Cangkir bukan korek api dan kayu bakar) bahwa guru hanya sebagai menuang air bukan pembangkin minat belajar anak.
Berpusat pada ruang dan tempat yang terbatas. (Bayangkan anda duduk disatu ruangan selama berjam-jam, apa lagi kursinya keras) nah itulah yang dialami murid-murid di sekolah kita, duduk dibangku yang keras selama berjam-jam.
Miskinnya pemberian dukungan belajar/Motivasi dari para guru (guru lebih suka memuji yang sukses dari pada membangkitkan yang gagal serta memuji usaha kebangkitannya, terlepas dari kegagalan demi kegagalan (Sindrom Belajar Sepeda) Dalam belajar sepeda kita bisa baru bisa naik sepeda setelah beberapa kali mengalami kegagalan. Tidak pernah ada anak yang langsung bisa naik sepeda tanpa pernah jatuh.
Guru sebagai penguji bukan sebagai pembimbing, Guru merasa tidak bertanggung jawab terhadap kegagalan para siswanya dalam ujian yang dibuatnya sendiri. Salah satu sistem pendidikan di perguruan tinggi di AS. menempatkan dosen sebagai pendamping, sedangkan yang menentukan kelulusan adalah pihak luar sekolah yang juga merupakan user dari si siswa. Kegagalan siswa dalam ujian sekaligus menunjukkan kegagalan dosen dalam mengajar.
Berpusat pada Tradisi bukan Kreatifitas (HOT SPOT – Hot Spot adalah kurikulum dinamis dan pembahasan masalah yang tidak didasarkan pada buku wajib, malainkan dibahas dan dikembangkan dari kasus-kasus yang sedang terjadi disekitar kehidupan anak-anak), Sementara Tradisi Kurikulum adalah statis, selalu sama yang diajarkan dan sering kali tidak relevan dengan perubahan zaman yang dialami siswanya sekarang, sehingga pendidikan dari waktu-kewaktu tidak mengalami kemajuan. Ingat waktu kita masih kecil bagaimana kita diajari menggambar..... apa yang yang kita gambar.....? Pemandangan dengan dua buah gunung, jalan ditengahnya, pohon dipinggir jalan.....? nah itulah salah satu contoh metode “Tradisi” dalam mengajar.
Sekolah Lebih tepat disebut sebagai Lembaga Pengajaran bukan Lembaga Pendidikan, (Mengajar adalah membuat tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa sedangkan Mendidik adalah membuat anak tidak mau menjadi mau.) Sasaran mengajar adalah Ilmu sedangkan sasaran mendidik adalah moral dan karakter. Oleh karena wajar jika banyak anak didik disekolah yang justru memiliki karakter sama seperti orang yang tidak terdidik.
II. Hasil Riset Sistem Sekolah Berbasiskan Multiple Intelligence dan Holistic Learning
Selain memperhatikan unsur-unsur tersebut di atas, ada beberapa poin yang dapat membantu orang tua dalam memilih sekolah yang benar-benar berkualitas bagi masa depan anaknya.
Memiliki Konsep Sekolah yang jelas dan tepat.
Konsep sekolah sangat penting, karena konsep ibarat sebuah “resep” dalam pembuatan kue, Hanya konsep yang tepat sajalah yang akan menghasilkan kue-kue yang berkualitas. Oleh karena itu jenis kue yang sama sering kali memiliki rasa yang berbeda-beda. Hanya kue dengan resep yang tepatlah yang dapat menghasilkan rasa yang lezat dan disukai.
Pemahaman yang mendalam akan konsep sekolah
Seluruh Jajaran mulai dari pimpinan, guru, administrasi secara keseluruhan mengetahui dan memahami Konsep Dasarnya yang dimiliki oleh sekolahnya, dan menerapkan konsep tersebut kepada siswa dalam proses belajar dan mengajar.
Program Pengembangan SDM yang kontinu
Guru-guru yang secara terus-menerus mendapat pelatihan dan program pengembangan yang berhubungan dengan pengetahuan dan kemampuan keahliannya.
Melibatkan Orang tua dan anak secara aktif.
Proses ini akan sangat membantu kedua belah pihak untuk dapat menjamin tersolusikannya setiap permasalahan anak. Karena anak pada dasarnya merupakan produk orang tua dan sekolahnya. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan mengadakan pelatihan pendidikan bagi orang tua, Voluntary Parent, Pemecahan Problem Prilaku Bersama, Kunjungan ke Objek Pembelajaran Luar Sekolah.
Dasar Rekrutmen Guru-guru yang tepat dan ketat.
Pemilihan guru dan para pendidik harus lebih mengutamakan pada Kecintaan kepada anak serta bidang pendidikan bukan pada Gelar-gelar akademik semata, karena banyak sekali guru yang bergelar tinggi tapi justru tidak mencintai bidangnya.
Guru yang memahami psikologi perkembangan anak
Para gurunya memiliki pemahaman yang mendalam mengenai psikologi anak dan pendidikan. (Psikologi Perkembangan, Gaya Belajar, Komunikasi). Dia bisa menjelasakan tidak hanya apa yang diberikan dalam proses pembelajaran akan tetapi juga mengapa dan untuk apa hal itu diberikan pada anak.
Para guru yang menguasai teknik-teknik pengajaran dan pendidikan.
Guru harus menempatkan posisinya sebagai sahabat bagi siswa bukan sebagai instruktur; sehingga siswa merasa belajar dengan sahabatnya bukan dengan instrukturnya.
Sistem dan Pola Pembelajaran yang mengacu pada proses perkembangan kemampuan secara berkala, bukan pada ujian akhir.
Penilaian hasil sebuah pembelajaran adalah proses peningkatan dari waktu-kewaktu kemampuan siswa, mulai dari tidak bisa menjadi bisa dan mahir bukan hanya berbasiskan tes/ujian di akhir masa pembelajaran saja. Sistem ini disebut sebagai “Portfolio Management”
Sistem Pendidikan dan Pengajaran yang memberdayakan kemampuan uggul “unik” setiap anak. Tidak memberlakukan sistem ranking dan rata-rata kelas, akan melainkan menggunakan sistem yang mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan masing-masing individu dengan berfokus pada keunggulannya. Sehingga anak paham akan potensi keunggulan dirinya masing-masing.
Tidak menggunakan kelas sebagai satu-satunya tempat belajar.
Setiap tempat adalah tempat belajar yang baik dan sempurna bagi siswa, sementara kelas adalah hanya salah satunya.
Tidak menggunakan papan tulis dan buku sebagai satu-satunya media belajar.
Media belajar yang baik adalah dengan membuat alat pembelajaran sendiri dari lingkungannya dengan mengandalkan ide-ide kreatif dari guru dan siswa. Buku dan papan tulis hanyalah alat bantu untuk memvisualisasikan apa yang diinginkan oleh guru pada siswanya.
Materi yang seimbang antara akademik dan life skill.
Diluar sekolah anak akan menghadapi berbagai macam tantangan kehidupan nyata bagi dirinya saat ini dan kelak setelah dewasa. Oleh karena itu pembelajaran kehidupan dan bagaimana untuk dapat hidup dimasyarakat jauh lebih utama untuk dikuasai oleh para siswa. Bukan hanya mengagung-agungkan nilai EBTA, Sumatif Tes atau IPK, yang nyata-nyata kontribusinya tidak besar bagi sukses kehidupan anak kelak.
Mau menerima masukkan dari luar untuk proses pengembangan sistem pembelajaran.
Jelas bahwa sekolah bukanlah institusi yang paling sempurna dalam mendidik dan mengembangkan kemampuan siswa, oleh karenanya sekolah sangat memerlukan berbagai masukan yang tepat dari berbagai pihak untuk dapat mendidik lebih baik.
Anak antusias, kreatif, kritis dan senang sekali bersekolah dan diajak bicara tentang sekolahnya. Ini merupakah alat ukur yang paling mudah bagi orang tua yang ingin mengetahui apakah sekolah yang dipilihnya cocok untuk anaknya.
Anak kita akan menjadi lebih baik dalam waktu 3 s/d 6 bulan.
Sistem pendidikan yang baik tidak perlu membutuhkan waktu lama untuk mengembangkan anak didiknya, baik yang berhubungan dengan kemampuan krititis ataupun prilaku terpuji dari anak kita. Perubahan itu seharusnya akan mulai terlihat dan dirasakan oleh orang tua pada semester-semester awal dan terus berlangsung sepanjang periode pembelajaran.
Tanya jawab seputar sekolah:
Apakah sekolah semacam ini ada..? jawabanya ada, namun tidak banyak dan beberapa diantaranya sudah memuat poin di atas meskipun belum seluruhnya.
Dimana..? masih sangat sporadis dan biasanya bentuknya semacam sekolah alam. Diaerah mana saja..? Beberapa diantaranya Sekolah Dasar Insantama di Bogor, Sekolah TK Star Int'l & Insantama Bogor, Sekolah Dasar dan Menengah, Alam Ciganjur, Kandang Jurang Ciputat, Sekolah Semut-semut di Cimanggis, Sekolah Tunas Global di Depok, Sekolah Masterpiece di BSD, Sekolah SD Peradaban di Serang & Cilegon Banten dan Rumah Cendikia di Makassar, Al Mutahhary Bandung dll.
Mungkin masih banyak lagi di daerah lainnya dan biasanya sekolah ini tidak banyak berpromosi yang berlebih-lebihan atau di lebih-lebihkan, karena beritanya sudah menyebar dari orang tua yang sudah menyekolahkan anaknya disana.
Jenjangnya bervariasi mulai TK, SD, SMP hingga SMA.
Semoga sekolah semacam ini akan semakin banyak tersebar diseluruh pelosok tanah air tercinta.
Sistem pendidikan yang baik tidak perlu membutuhkan waktu lama untuk mengembangkan anak didiknya, baik yang berhubungan dengan kemampuan krititis ataupun prilaku terpuji dari anak kita. Perubahan itu seharusnya akan mulai terlihat dan dirasakan oleh orang tua pada semester-semester awal dan terus berlangsung sepanjang periode pembelajaran.
Subscribe to:
Posts (Atom)