-- SEBUAH RENUNGAN UNTUK PARA ORANG TUA, GURU & PETINGGI NEGERI --
Syahdan di tengah-tengah hutan belantara Sumatera berdirilah sebuah
sekolah untuk para binatang dengan status “disamakan dengan manusia”,
sekolah ini dikepalai oleh seorang manusia.
Karena sekolah tersebut berstatus “disamakan”, maka tentu saja
kurikulumnya juga harus mengikuti kurikulum yang sudah standar dan telah
ditetapkan untuk manusia.
Kurikulum tersebut mewajibkan bahwa
untuk bisa lulus dan mendapatkan ijazah ; setiap siswa harus berhasil
pada lima mata pelajaran pokok dengan nilai minimal 8 pada masing-masing
mata pelajaran.
Adapun kelima mata pelajaran pokok tersebut adalah; Terbang, Berenang, Memanjat, Berlari dan Menyelam
Mengingat bahwa sekolah ini berstatus “Disamakan dengan manusia”, maka
para binatang berharap kelak mereka dapat hidup lebih baik dari binatang
lainya, sehingga berbondong-bondonglah berbagai jenis binatang
mendaftarkan diri untuk bersekolah disana; mulai dari; Elang, Tupai,
Bebek, Rusa dan Katak
Proses belajar mengajarpun akhirnya
dimulai, terlihat bahwa beberapa jenis binatang sangat unggul dalam mata
pelajaran tertentu;
Elang sangat unggul dalam pelajaran
terbang; dia memiliki kemampuan yang berada diatas binatang-binatang
lainnya dalam hal melayang di udara, menukik, meliuk-liuk, menyambar
hingga bertengger didahan sebuah pohon yang tertinggi.
Tupai
sangat unggul dalam pelajaran memanjat; dia sangat pandai, lincah dan
cekatan sekali dalam memanjat pohon, berpindah dari satu dahan ke dahan
lainnya. Hingga mencapai puncak tertinggi pohon yang ada di hutan itu.
Sementara bebek terlihat sangat unggul dan piawai dalam pelajaran
berenang, dengan gayanya yang khas ia berhasil menyebrangi dan mengitari
kolam yang ada didalam hutan tersebut.
Rusa adalah murid yang
luar biasa dalam pelajaran berlari; kecepatan larinya tak tertandingi
oleh binatang lain yang bersekolah di sana. Larinya tidak hanya cepat
melainkan sangat indah untuk dilihat.
Lain lagi dengan Katak,
ia sangat unggul dalam pelajaran menyelam; dengan gaya berenangnya yang
khas, katak dengan cepatnya masuk kedalam air dan kembali muncul
diseberang kolam.
Begitulah pada mulanya mereka adalah
murid-murid yang sangat unggul dan luar biasa dimata pelajaran tertentu.
Namun ternyata kurikulum telah mewajibkan bahwa mereka harus meraih
angka minimal 8 di semua mata pelajaran untuk bisa lulus dan mengantongi
ijazah.
Inilah awal dari semua kekacauan.itu; Para binatang
satu demi satu mulai mempelajari mata pelajaran lain yang tidak dikuasai
dan bahkan tidak disukainya.
Burung elang mulai belajar cara
memanjat, berlari, namun sayang sekali untuk pelajaran berenang dan
menyelam meskipun telah berkali-kali dicobanya tetap saja ia gagal; dan
bahkan suatu hari burung elang pernah pingsan kehabisan nafas saat
pelajaran menyelam.
Tupaipun demikian; ia berkali-kali jatuh
dari dahan yang tinggi saat ia mencoba terbang. Alhasil bukannya bisa
terbang tapi tubuhnya malah penuh dengan luka dan memar disana-sini.
Lain lagi dengan bebek, ia masih bisa mengikuti pelajaran berlari
meskipun sering ditertawakan karena lucunya, dan sedikit bisa terbang;
tapi ia kelihatan hampir putus asa pada saat mengikuti pelajaran
memanjat, berkali-kali dicobanya dan berkali-kali juga dia terjatuh,
luka memar disana sini dan bulu-bulunya mulai rontok satu demi satu.
Demikian juga dengan binatang lainya; meskipun semua telah berusaha
dengan susah payah untuk mempelajari mata pelajaran yang tidak
dikuasainya, dari pagi hingga malam, namun tidak juga menampakkan hasil
yang lebih baik.
Yang lebih menyedihkan adalah karena mereka terfokus untuk dapat berhasil di mata pelajaran yang tidak dikuasainya;
perlahan-lahan Elang mulai kehilangan kemampuan terbangnya; tupai sudah
mulai lupa cara memanjat, bebek sudah tidak dapat lagi berenang dengan
baik, sebelah kakinya patah dan sirip kakinya robek-robek karena terlalu
banyak berlatih memanjat. Katak juga tidak kuat lagi menyelam karena
sering jatuh pada saat mencoba terbang dari satu dahan ke dahan lainnya.
Dan yang paling malang adalah Rusa, ia sudah tidak lagi dapat berlari
kencang, karena paru-parunya sering kemasukan air saat mengikuti
pelajaran menyelam.
Akhirnya tak satupun murid berhasil lulus
dari sekolah itu; dan yang sangat menyedihkan adalah merekapun mulai
kehilangan kemampuan aslinya setelah keluar dari sekolah.
Mereka tidak bisa lagi hidup dilingkungan dimana mereka dulu tinggal,
ya.... kemampuan alami mereka telah terpangkas habis oleh kurikulum
sekolah tersebut. Sehingga satu demi satu binatang-binatang itu mulai
mati kelaparan karena tidak bisa lagi mencari makan dengan kemampuan
unggul yang dimilikinya..
Tidakkah kita menyadari bahwa sistem
persekolahan manusia yang ada saat inipun tidak jauh berbeda dengan
sistem persekolahan binatang dalam kisah ini. Kurikulum sekolah telah
memaksa anak-anak kita untuk menguasai semua mata pelajaran dan
melupakan kemampuan unggul mereka masing-masing.
Kurikulum dan
sistem persekolahan telah memangkas kemampuan alami anak-anak kita untuk
bisa berhasil dalam kehidupan menjadi anak yang hanya bisa menjawab
soal-soal ujian.
Akankah nasib anak-anak kita kelak juga mirip dengan nasib para binatang yang ada disekolah tersebut?
By Thomas Amstrong 1990
Modify by Ayah Edy 2003
Keluarga Indonesia yg peduli pendidikan anak bangsa,
Bila kita kaji lebih jauh produk dari sistem pendidikan kita saat ini
bahkan jauh lebih menyeramkan dari apa yang digambarkan oleh fabel
tersebut; bayangkan betapa para lulusan dari sekolah saat ini lebih
banyak hanya menjadi pencari kerja dari pada pencipta lapangan kerja,
betapa banyak para lulusan yang bekerja tidak sesuai dengan latar
belakang pendidikan yang digelutinya selama bertahun-tahun, sebuah
pemborosan waktu, tenaga dan biaya.
Betapa para lulusan sekolah
tidak tahu akan dunia kerja yang akan dimasukinya, jangankan kemapuan
keahlian, bahkan pengetahuan saja sangatlah pas-pasan, betapa hampir
setiap siswa lanjutan atas dan perguruan tinggi jika ditanya apa
kemampuan unggul mereka, hampir sebagian besar tidak mampu menjawab atau
menjelaskannya.
Begitupun setelah mereka berhasil mendapatkan
pekerjaan, berapa banyak dari mereka yang tidak memberikan unjuk kerja
yang terbaik serta berapa banyak dari mereka yang merasa tidak bahagia
dengan pekerjaanya.
Belum lagi kita bicara tentang carut marut
dunia pendidikan yang kerapkali dihiasi tidak hanya oleh tawuran pelajar
melainkan juga tawuran mahasiswa. Luar biasa “Maha Siswa” julukan yang
semestinya dapat dibanggakan dan begitu agung karena Mahasiswa adalah
bukan siswa biasa melainkan siswa yang “Maha”. Namun nyatanya ya Tawuran
juga.
Apa yang menjadi biang keladi dari kehancuran sistem pendidikan di negeri ini...?
1. Sistem yang tidak menghargai proses
Belajar adalah proses dari tidak bisa menjadi bisa. Hasil akhir adalah
buah dari kerja setiap proses yang dilalui. Sayangnya proses ini sama
sekali tidak dihargai; siswa tidak pernah dinilai seberapa keras dia
berusaha melalui proses. Melainkan hanya semata-mata ditentukan oleh
ujian akhir.
2. Sistem yang hanya mengajari anak untuk menhafal bukan belajar dalam arti sesunguhnya
Apa beda belajar dengan menghafal; Produk dari sebuah pembelajaran
kemampuan atau keahlian yang dikuasai terus menerus. Contoh yang paling
sederhana adalah pada saat anak belajar sepeda. Mulai dari tidak bisa
menjadi bisa, dan setelah bisa ia akan bisa terus sepanjang masa.
Sementara produk dari menghafal adalah ingatan jangka pendek yang dalam
waktu singkat akan cepat dilupakan.
Perbedaan lain bahwa belajar membutuhkan waktu lebih panjang sementara menghafal bisa dilakukan hanya dalam 1 malam saja.
Padahal pada hakekatnya Manusia dianugrahi susunan otak yang paling tinggi derajadnya dibanding mahluk manapun didunia.
Fungsi tertinggi dari otak manusia tersebut disebut sebagai cara
berpikir tingkat tinggi atau HOT; yang direpresentasikan melalui
kemampuan kreatif atau bebas mencipta serta berpikir analisis-logis;
sementara fungsi menghafal hanyalah fungsi pelengkap.
Keberhasilan seorang anak kelak bukan ditentukan oleh kemampuan
hafalannya melainkan oleh kemampuan kreatif dan berpikir kritis
analisis.
3. Sistem sekolah yang berfokus pada nilai
Nilai yang biasanya diwakili oleh angka-angka biasanya dianggap sebagai penentu hidup dan matinya seorang siswa.
Begitu sakral dan gentingnya arti sebuah nilai pelajaran sehingga semua
pihak mulai guru, orang tua dan anak akan merasa rasah dan stress jika
melihat siswanya mendapat nilai rendah atau pada umumnya dibawah angka 6
(enam).
Setiap orang dikondisikan untuk berlomba-lomba
mencapai nilai yang tinggi dengan cara apapun tak perduli apakah si
siswa terlihat setangah sekarat untuk mencapainya.
Nyatanya toh
dalam kehidupan nyata, nilai pelajaran yang begitu dianggung-anggungkan
oleh sekolah tersebut tidak berperan banyak dalam menentukan sukses
hidup seseorang.
Dan lucunya sebagian besar kita dapati anak
yang dulu saat masih bersekolah memiliki nilai pas-pasan atau bahkan
hancur, justru lebih banyak meraih sukses dikehidupan nyata.
Mari kita ingat-ingat kembali saat kita masih bersekolah dulu; betapa
bangganya seseorang yang mendapat nilai tinggi dan betapa hinanya anak
yang medapat nilai rendah; dan bahkan untuk mempertegas kehinaan ini,
biasanya guru menggunakan tinta dengan warna yang lebih menyala dan
mencolok mata.
Sementara jika kita kaji lagi; apakah sesungguhnya representasi dari sebuah nilai yang diagung-agungkan disekolah itu...?
Nilai sesungguhnya hanyalah representasi dari kemampuan siswa dalam
“menghapal” pelajaran dan “subjektifitas” guru yang memberi nilai
tersebut terhadap siswanya.
Meskipun kerapkali guru
menyangkalnya, cobalah anda ingat-ingat; berapa lama anda belajar untuk
mendapatkan nilai tersebut; apakah 3 bulan...? 1 bulan..? atau cukup
hanya semalam saja..?
Kemudian coba ingat-ingat kembali, jika
dulu saat bersekolah, ada diantara anda yang pernah bermasalah dengan
salah seorang guru; apakah ini akan mempengaruhi nilai yang akan anda
peroleh..?
Jadi wajar saja; meskipun kita banyak memiliki orang
“pintar” dengan nilai yang sangat tinggi; negeri ini masih tetap saja
tertinggal jauh dari negara-negara maju. Karena pintarnya hanya pintar
menghafal dan menjawab soal-soal ujian.
4. Sistem pendidikan yang Seragam-sama untuk setiap anak yang berbeda-beda
Siapapun sadar bahwa bila kita memiliki lebih dari 1 atau 2 orang anak;
maka bisa dipastikan setiap anak akan berbeda-beda dalam berbagai hal.
Andalah yang paling tahu perbedaan-perbedaanya. Namun sayangnya anak
yang berbeda tersebut bila masuk kedalam sekolah akan diperlakukan
secara sama, diproses secara sama dan diuji secara sama.
Menurut hasil penelitian Ilmu Otak/Neoro Science jelas-jelas ditemukan
bahwa satiap anak memiliki kelebihan dan sekaligus kelemahan dalam
bidang yang berbeda-beda.
Mulai dari Instingtif otak kiri dan
kanan, Gaya Belajar dan Kecerdasan Beragam. Sementara sistem pendidikan
seolah-oleh menutup mata terhadap perbedaan yang jelas dan nyata
tersebut yakni dengan mengyelenggaraan sistem pendidikan yang sama dan
seragam.
Oleh karena dalam setiap akhir pembelajaran akan
selalu ada anak-anak yang tidak bisa/berhasil menyesuaikan dengan sistem
pendidikan yang seragam tersebut.
5. Sekolah adalah Institusi Pendidikan yang tidak pernah mendidik
Sekilas judul ini tampaknya membingungkan; tapi sesungguhnya inilah yang terjadi pada lembaga pendidikan kita.
Apa beda mendidik dengan mengajar...?
Ya.. tepat!, mendidik adalah proses membangun moral/prilaku atau
karakter anak sementara mengajar adalah mengajari anak dari tidak tahu
menjadi tahu dan dari tidak bisa menjadi bisa.
Produk dari
pengajaran adalah terbangunnya cara berpikir kritis dan kreatif yang
berhubungan dengan intelektual sementara produk dari pendidikan adalah
terbangunnya prilaku/akhlak yang baik.
Ya..! memang betul dalam
kurikulum ada mata pelajaran Agama, Moral Panca Sila, Civic dan
sebagainya namun dalam aplikasinya disekolah guru hanya memberikan
sebatas hafalan saja; bukan aplikasi dilapangan.
Demikian juga
ujiannya dibuat berbasiskan hafalan; seperti hafalan butir-butir Panca
Sila dsb. Tidak berdasarkan aplikasi siswa dilapangan seperti praktek di
panti-panti jompo; terjun menjadi tenaga sosial, dengan sistem
penilaian yang berbasiskan aplikasi dan penilaian masyarakat (user base
evaluation).
Jadi wajar saja jika anak-anak kita tidak pernah
memiliki nilai moral yang tertanam kuat di dalam dirinya; melainkan
hanya nilai moral yang melintas semalam saja dikepalanya dalam rangka
untuk dapat menjawab soal-soal ujian besok paginya.
Mari kita renungkan bersama !
by ayah edy
Indonesia pada hakikatnya merupakan kumpulan dari keluarga yg tersebar dilebih dari 12.000 pulau yg ada di Nusantara. Apabila keluarga2 ini kuat, maka Indonesia akan menjadi Bangsa & Negara yg Kuat dgn sendirinya tanpa perlu konsep yg berbelit-belit & biaya yg membebani negara. Pastikan keluarga & sanak famili kita di seluruh tanah air telah bergabung dlm GERAKAN MEMBANGUN INDONESIA YANG KUAT DARI KELUARGA. Kalau bukan kita, siapa lagi ? Kalau bukan sekarang, kapan lagi ?
Indah sekali pak tulisannya. "Mungkin" saya termasuk kedalam salah satu binatang yang kehilangan kemampuannya, sampai saat ini saya masih bingung mau kemana arah tujuan saya dalam hidup? yang jadi pertanyaan. Lalu, bagaimana cara agar diri ini bisa mengembalikan kemampuan terbaik itu pak? Jujur sayapun lupa apa kemampuan terbaik saya.
ReplyDeleteEki - 21 thn
Ini bukan yang seperti segampang kita menulis dalam kata - kata. Lebih kepada kesiapan tenaga didik dan kesungguhan anak dalam belajar. Jangan pesimis seperti ini....
ReplyDeleteJika kita percaya itu gampang akan menjadi gampang dan jika kita percaya itu sulit akan menjadi sulit.
ReplyDeleteWe are what we believe !!!
Jika kita yakin akan berhasil maka akan berhasil jika kita yakin akan gagal pasti gagal !!
We are what we believe !!!
Semoga suatu saat nanti Ayah Edi diberi kesempatan untuk berperan memperbaiki Republik ini dibidang pendidikan...sehingga generasi mendatang dinegeri ini semakin baik...
ReplyDeleteayah..impian saya menjadi editor
ReplyDeletesedangkan sekarang saya kuliah di teknik sipil...ipk ngga jelek2 amat ayah...tapi setiap ada kesulitan d akademik terutama kasus dengan birokrasi dosen..saya langsung drop dan ingin keluar kuliah dan mengejar menjadi editor...
saya ingin keluar kuliah ayah...tp bagaimana ya ayah..
great... izin Copas yah... thanks b4
ReplyDeletesangat tercerahkan ayah,,, dan mirisnya pengetahuan seperti ini hanya diketahui beberapa orang saja :(,,,yang ada disekitar saya, hanya memusingkan kemampuan kognitif anak atas pelajaran sekolah,,,ibaratnya menerjang arus air yang berlawanan,,, semoga saya menjadi orang tua yang teguh pendirian mendampingi anak saya berkembang sesuai minat dan bakatnya..amin
ReplyDeleteDi mana ada sekolah seperti itu, Ayah Edi?
ReplyDelete