MUNGKIN BUKU INI BISA MENOLONG KITA ATAU ANAK KITA ?
Anak-anak (dan Orangtua!) yang ‘Tersesat’ dan akhirnya Mogok Sekolah atau Kuliah.
Beberapa waktu lalu, sepasang suami istri datang menemui saya. Begitu kami duduk berhadap-hadapan, saya bisa melihat kegundahan yang terbayang jelas di wajah mereka.
“Kami bingung, Ayah Edy,” kata sang istri.
Nah, kalimat itu lagi. Selama delapan tahun ini, menghadapi orang-orangtua yang bingung memang menjadi makanan saya sehari-hari. Ada yang bingung karena anaknya dianggap bermasalah di sekolah, ada yang bingung karena anaknya mogok belajar, ada yang bingung karena anaknya susah diatur.
Benak saya mulai mereka-reka, kebingungan yang mana kira-kira yang sedang dialami pasangan suami istri ini.
“Anak kami (sebut saja bernama Intan) saat ini sudah kuliah tingkat akhir di Fakultas Hukum. Seharusnya ini semester terakhirnya. Seharusnya dia sedang dalam proses menyelesaikan skripsi. Tapi boro-boro menyelesaikan skripsi, anak kami malah tidak mau meneruskan kuliahnya. Dia tidak mau bekerja di bidang hukum. Padahal, kampusnya sudah memberi ultimatum, kalau semester ini skripsinya tidak selesai juga, dia harus drop out,” sang istri bercerita agak tersendat, menahan emosi.
Ah, rupanya kebingungan jenis ini yang sedang mereka alami. Kebingungan yang dirasakan oleh anak-anak –dan orangtua—yang ‘tersesat’.
Suaminya melanjutkan. “Kami sudah coba membujuknya dengan segala cara, Ayah. Kami sudah katakan, tanggung kalau dia berhenti sekarang. Toh tinggal sedikit lagi, dia bisa mendapat gelar Sarjana Hukum. Dia cuma perlu bertahan sebentar lagi saja. Kalau dia keluar sekarang, berarti waktu bertahun-tahun yang dia habiskan di Fakultas Hukum ya sia-sia. Percuma saja. Belum lagi biaya yang kami keluarkan. Sia-sia semua.”
Saya mengangguk-angguk. Masih belum berkata sepatah pun. Biar mereka mengeluarkan seluruh unek-unek yang mengganjal selama ini.
“Tapi anak kami itu susah dibujuk. Katanya, dia tidak cocok di Fakultas Hukum. Kalau pun dia bisa lulus, dia tidak akan mau bekerja di bidang itu. Dia tidak suka. Itu bukan bidangnya,” tutur sang suami.
Istrinya kembali angkat bicara. “Kalau dia tidak cocok kuliah di sana, kenapa baru sekarang sih, dia memberitahu kami? Kenapa tidak dari dulu? Kalau sudah begini kan serba salah. Serba nanggung. Kalau pun dia keluar, terus dia mau sekolah di mana? Nanti kalau sudah kuliah di tempat lain, lalu dia merasa tidak cocok lagi, apa mau mogok lagi? Drop out lagi? Berarti kami harus keluar biaya lagi. Dia harus membuang waktu lagi. Lah kapan kerjanya?”
***
Ayah Bunda tercinta
Bila saya diibaratkan seorang dokter, maka kasus yang saya hadapi ini mungkin sudah stadium lanjut.
Bayangkan, si anak sudah menghabiskan bertahun-tahun waktu hidupnya untuk mempelajari bidang yang tak ia sukai. Ia sudah tersiksa selama ratusan, bahkan ribuan jam dalam kelas-kelas yang tidak diminatinya. Ia belajar tanpa tahu akan jadi apa ia kelak. Dan di ujung masa kuliahnya, ketika ia seharusnya tinggal selangkah lagi menyambut gerbang kelulusan, kesadaran menghentaknya. Ia tak suka, tak mau dan tak cocok belajar dan bekerja dalam bidang itu.
Atau jangan-jangan, ia sudah lama memendam rasa tidak suka itu. Mungkin ia sudah lama menyadari kalau bidang itu memang bukan untuknya. Tapi bisa jadi, ia sungkan memberitahu orang tuanya. Takut melihat reaksi mereka. Atau mungkin ia tak tahu, bidang apa sebenarnya yang ia minati. Ia tak tahu apa sebenarnya cita-citanya.
Izinkan saya bertanya, akrabkah Anda dengan kisah nyata ini? Atau jangan-jangan malah anda atau ada keluarga anda yang sedang mengalami kasus seperti ini? Atau mirip-mirip dengan kasus ini ?
Saya tak heran bila Anda menjawab ‘ya’. Kasus semacam ini memang bukan hanya satu atau dua. Kasus ini sangat banyak terjadi di antara kita. Ini mungkin terjadi pada anak Anda, keponakan, anak kawan, anak tetangga, atau... jangan-jangan pada diri Anda sendiri?
Selama Delapan Tahun menjalani profesi sebagai seorang konselor lepas saja sudah ratusan kali saya menghadapi pengaduan yang semacam ini.
Saya yakin kita sering melihat seorang anak yang didorong untuk belajar, belajar, belajar terus. Sejak SD sampai SMA, ia dituntut memperoleh nilai baik dalam semua ulangan dan mata pelajaran. Karena walaupun nilai Bahasa Indonesianya delapan, tapi jika matematikanya lima, ia bisa terancam tidak naik kelas. Ia lalu akan dianggap lemah dalam bidang itu. Dan karena nilai matematikanya belum memenuhi standar, ia akan digempur oleh les tambahan untuk mendongkrak nilainya.
Menjelang kelulusan SMA, ketika semua anak harus menentukan universitas dan jurusan apa yang akan mereka pilih, ia kebingungan. Ia tak tahu apa cita-citanya. Ia juga tak tahu bidang apa sebenarnya yang ia minati. Karena selama ini ia hanya menjalankan perintah kurikulum sekolah dan orang tuanya.
Ketika ia bertanya pada orangtuanya, jawaban mereka hanya, ‘Pilih dong Nak, jurusan-jurusan favorit. Pilih fakultas yang begitu lulus, kamu bisa gampang mencari kerja, punya gaji tinggi gitu lho. Jadi kamu bisa hidup senang.’ Lalu orangtuanya menyebutkan beberapa jurusan.
Bukannya tertarik, si anak malah semakin bingung karena tak satu pun jurusan tadi yang benar-benar memikatnya.
Si anak lalu bertanya pada teman-temannya. Ternyata banyak teman ‘se-gengnya’ yang memilih Jurusan X. ‘Kamu pilih Jurusan X juga, dong. Supaya kita bisa terus bareng-bareng pas kuliah nanti.’
Akhirnya, si anak memilih mengikuti teman-temannya. Atau, ia mungkin mengikuti saran orangtuanya. Tapi apa pun yang dipilih, ia tak memilih sesuai kata hatinya. Ia tak memilih bidang yang paling sesuai dengan potensi terunggulnya—yang hingga saat itu masih terpendam.
Di tengah-tengah masa kuliah, si anak semakin menyadari bahwa ini bukan jalannya. Tapi nasi sudah jadi bubur. Apa yang bisa ia lakukan?
Sebagian anak –seperti contoh kasus tadi—akhirnya mungkin tak tahan dan berterus terang pada orangtuanya. Ia mogok melanjutkan kuliahnya.
Tapi sebagian lagi mungkin memilih untuk melanjutkan kuliahnya walaupun ia tak meminati bidangnya. Bisa jadi, ia tak mau merepotkan orangtuanya yang telah mengeluarkan banyak biaya untuk studinya. Atau kemungkinan lain, kalaupun ia mundur dari kuliahnya saat ini, ia tak tahu bidang apa yang cocok baginya.
***
Jika kita tidak ingin hal ini terjadi pada anak kita, atau malah ternyata kita adalah salah satu yang mengalaminya, maka mungkin buku ini bisa memberi solusi terbaik bagi kita.
===> Tersedia di Gramedia, Gunung Agung, Mizan Book Store, Paper Clip dan toko buku lainnya di seluruh Indonesia.
Anak-anak (dan Orangtua!) yang ‘Tersesat’ dan akhirnya Mogok Sekolah atau Kuliah.
Beberapa waktu lalu, sepasang suami istri datang menemui saya. Begitu kami duduk berhadap-hadapan, saya bisa melihat kegundahan yang terbayang jelas di wajah mereka.
“Kami bingung, Ayah Edy,” kata sang istri.
Nah, kalimat itu lagi. Selama delapan tahun ini, menghadapi orang-orangtua yang bingung memang menjadi makanan saya sehari-hari. Ada yang bingung karena anaknya dianggap bermasalah di sekolah, ada yang bingung karena anaknya mogok belajar, ada yang bingung karena anaknya susah diatur.
Benak saya mulai mereka-reka, kebingungan yang mana kira-kira yang sedang dialami pasangan suami istri ini.
“Anak kami (sebut saja bernama Intan) saat ini sudah kuliah tingkat akhir di Fakultas Hukum. Seharusnya ini semester terakhirnya. Seharusnya dia sedang dalam proses menyelesaikan skripsi. Tapi boro-boro menyelesaikan skripsi, anak kami malah tidak mau meneruskan kuliahnya. Dia tidak mau bekerja di bidang hukum. Padahal, kampusnya sudah memberi ultimatum, kalau semester ini skripsinya tidak selesai juga, dia harus drop out,” sang istri bercerita agak tersendat, menahan emosi.
Ah, rupanya kebingungan jenis ini yang sedang mereka alami. Kebingungan yang dirasakan oleh anak-anak –dan orangtua—yang ‘tersesat’.
Suaminya melanjutkan. “Kami sudah coba membujuknya dengan segala cara, Ayah. Kami sudah katakan, tanggung kalau dia berhenti sekarang. Toh tinggal sedikit lagi, dia bisa mendapat gelar Sarjana Hukum. Dia cuma perlu bertahan sebentar lagi saja. Kalau dia keluar sekarang, berarti waktu bertahun-tahun yang dia habiskan di Fakultas Hukum ya sia-sia. Percuma saja. Belum lagi biaya yang kami keluarkan. Sia-sia semua.”
Saya mengangguk-angguk. Masih belum berkata sepatah pun. Biar mereka mengeluarkan seluruh unek-unek yang mengganjal selama ini.
“Tapi anak kami itu susah dibujuk. Katanya, dia tidak cocok di Fakultas Hukum. Kalau pun dia bisa lulus, dia tidak akan mau bekerja di bidang itu. Dia tidak suka. Itu bukan bidangnya,” tutur sang suami.
Istrinya kembali angkat bicara. “Kalau dia tidak cocok kuliah di sana, kenapa baru sekarang sih, dia memberitahu kami? Kenapa tidak dari dulu? Kalau sudah begini kan serba salah. Serba nanggung. Kalau pun dia keluar, terus dia mau sekolah di mana? Nanti kalau sudah kuliah di tempat lain, lalu dia merasa tidak cocok lagi, apa mau mogok lagi? Drop out lagi? Berarti kami harus keluar biaya lagi. Dia harus membuang waktu lagi. Lah kapan kerjanya?”
***
Ayah Bunda tercinta
Bila saya diibaratkan seorang dokter, maka kasus yang saya hadapi ini mungkin sudah stadium lanjut.
Bayangkan, si anak sudah menghabiskan bertahun-tahun waktu hidupnya untuk mempelajari bidang yang tak ia sukai. Ia sudah tersiksa selama ratusan, bahkan ribuan jam dalam kelas-kelas yang tidak diminatinya. Ia belajar tanpa tahu akan jadi apa ia kelak. Dan di ujung masa kuliahnya, ketika ia seharusnya tinggal selangkah lagi menyambut gerbang kelulusan, kesadaran menghentaknya. Ia tak suka, tak mau dan tak cocok belajar dan bekerja dalam bidang itu.
Atau jangan-jangan, ia sudah lama memendam rasa tidak suka itu. Mungkin ia sudah lama menyadari kalau bidang itu memang bukan untuknya. Tapi bisa jadi, ia sungkan memberitahu orang tuanya. Takut melihat reaksi mereka. Atau mungkin ia tak tahu, bidang apa sebenarnya yang ia minati. Ia tak tahu apa sebenarnya cita-citanya.
Izinkan saya bertanya, akrabkah Anda dengan kisah nyata ini? Atau jangan-jangan malah anda atau ada keluarga anda yang sedang mengalami kasus seperti ini? Atau mirip-mirip dengan kasus ini ?
Saya tak heran bila Anda menjawab ‘ya’. Kasus semacam ini memang bukan hanya satu atau dua. Kasus ini sangat banyak terjadi di antara kita. Ini mungkin terjadi pada anak Anda, keponakan, anak kawan, anak tetangga, atau... jangan-jangan pada diri Anda sendiri?
Selama Delapan Tahun menjalani profesi sebagai seorang konselor lepas saja sudah ratusan kali saya menghadapi pengaduan yang semacam ini.
Saya yakin kita sering melihat seorang anak yang didorong untuk belajar, belajar, belajar terus. Sejak SD sampai SMA, ia dituntut memperoleh nilai baik dalam semua ulangan dan mata pelajaran. Karena walaupun nilai Bahasa Indonesianya delapan, tapi jika matematikanya lima, ia bisa terancam tidak naik kelas. Ia lalu akan dianggap lemah dalam bidang itu. Dan karena nilai matematikanya belum memenuhi standar, ia akan digempur oleh les tambahan untuk mendongkrak nilainya.
Menjelang kelulusan SMA, ketika semua anak harus menentukan universitas dan jurusan apa yang akan mereka pilih, ia kebingungan. Ia tak tahu apa cita-citanya. Ia juga tak tahu bidang apa sebenarnya yang ia minati. Karena selama ini ia hanya menjalankan perintah kurikulum sekolah dan orang tuanya.
Ketika ia bertanya pada orangtuanya, jawaban mereka hanya, ‘Pilih dong Nak, jurusan-jurusan favorit. Pilih fakultas yang begitu lulus, kamu bisa gampang mencari kerja, punya gaji tinggi gitu lho. Jadi kamu bisa hidup senang.’ Lalu orangtuanya menyebutkan beberapa jurusan.
Bukannya tertarik, si anak malah semakin bingung karena tak satu pun jurusan tadi yang benar-benar memikatnya.
Si anak lalu bertanya pada teman-temannya. Ternyata banyak teman ‘se-gengnya’ yang memilih Jurusan X. ‘Kamu pilih Jurusan X juga, dong. Supaya kita bisa terus bareng-bareng pas kuliah nanti.’
Akhirnya, si anak memilih mengikuti teman-temannya. Atau, ia mungkin mengikuti saran orangtuanya. Tapi apa pun yang dipilih, ia tak memilih sesuai kata hatinya. Ia tak memilih bidang yang paling sesuai dengan potensi terunggulnya—yang hingga saat itu masih terpendam.
Di tengah-tengah masa kuliah, si anak semakin menyadari bahwa ini bukan jalannya. Tapi nasi sudah jadi bubur. Apa yang bisa ia lakukan?
Sebagian anak –seperti contoh kasus tadi—akhirnya mungkin tak tahan dan berterus terang pada orangtuanya. Ia mogok melanjutkan kuliahnya.
Tapi sebagian lagi mungkin memilih untuk melanjutkan kuliahnya walaupun ia tak meminati bidangnya. Bisa jadi, ia tak mau merepotkan orangtuanya yang telah mengeluarkan banyak biaya untuk studinya. Atau kemungkinan lain, kalaupun ia mundur dari kuliahnya saat ini, ia tak tahu bidang apa yang cocok baginya.
***
Jika kita tidak ingin hal ini terjadi pada anak kita, atau malah ternyata kita adalah salah satu yang mengalaminya, maka mungkin buku ini bisa memberi solusi terbaik bagi kita.
===> Tersedia di Gramedia, Gunung Agung, Mizan Book Store, Paper Clip dan toko buku lainnya di seluruh Indonesia.
No comments:
Post a Comment