Ayah Bunda yang berbahagia
Tolong jawab pertanyaan ini dengan jujur: Mana hari yang lebih Anda sukai? Hari Senin atau hari Jumat?
Saya ucapkan selamat pada Anda yang menjawab Senin. Atau mungkin yang menjawab ‘keduanya sama-sama asyik’. Tapi bila Anda jauh lebih menyukai hari Jumat, berarti Anda mungkin tidak benar-benar mencintai profesi Anda sekarang (Ingat, ada perbedaan besar antara ‘mencintai’ dan ‘berusaha mencintai’).
Saya bayangkan, Anda bergelut di kantor dari Senin sampai Kamis, lalu ketika Jumat tiba, barulah Anda bisa bernapas sedikit lega: ‘Ah thank God it’s Friday!!!’ Apalagi kalau jam dinding sudah hampir menunjukkan pukul lima. Ah, weekend sudah datang! Yippiii...
Lalu Sabtu dan Minggu Anda habiskan penuh sukacita bersama keluarga. Jalan-jalan, makan bersama, piknik, nonton di bioskop...
Tapi pada Minggu malam, menjelang Senin, langkah Anda semakin terseret. Kepala mulai berat mengingat tumpukan pekerjaan yang harus dihadapi besok serta jadwal meeting yang rasanya tak berkesudahan. Hormon kortisol (hormon perusak organ tubuh) akibat stres mulai mengalir karena Anda membayangkan kemacetan parah di hari Senin pagi.
Ingat:
I DON’T LIKE MONDAY = I DON’T LIKE MY JOB = I DON’T LIKE MY LIFE !
Terus terang, saya belum pernah bertemu orang sukses yang TIDAK MENYUKAI pekerjaannya. Bahkan, syarat pertama seorang profesional adalah, dia harus mencintai bidang pekerjaannya.
Coba lihat pembalap Michael Schumacher.
Dalam satu kali pertandingan, ia harus memacu mobilnya sebanyak 32 lap. Ini masih belum seberapa dibandingkan latihannya. Satu kali latihan, ia harus ‘muter-muter’ sampai 50 lap.
Bagi Schumacher, ia tak sekadar balapan atau bekerja, tapi justru sedang mengerjakan hobinya.
Bintang basket legendaris, Michael Jordan, misalnya. Dalam setiap latihan, ia terbiasa menembakkan bola basket ke dalam ring sebanyak 5000 kali! Kira-kira kalau Michael Jordan melakukan shoot sambil terus berpikir ‘kapan ya, hari Jumat?’, apa bolanya bisa masuk ke dalam ring?
Ayah Bunda tercinta.
Apa jadinya bila Michael Jordan yang berbakat menjadi pebasket malah dipaksa menjadi bankir?
Atau bagaimana bila Schumacher yang berpotensi unggul sebagai pembalap disuruh orang tuanya menjadi dokter – hanya karena profesi dokter dan bankir adalah profesi yang dianggap menjanjikan kesuksesan finansial?
Mungkinkah keduanya berhasil menjadi bankir dan dokter? Kalaupun mereka berhasil, apakah mereka akan menjadi bankir dan dokter yang bahagia? Lebih jauh lagi, apakah mereka akan menjadi bankir dan dokter yang sukses dan passionate di bidangnya?
Sayang sekali, jawabannya tidak.
Bahkan, yang banyak terlihat sekarang bukan hanya mereka yang tidak memiliki passion di bidangnya, melainkan juga mereka yang menyalahgunakan profesi dan jabatannya demi keuntungan pribadi alias korupsi.
Merekalah para pekerja yang tidak memiliki impian apalagi idealisme, dan hanya mengincar pundi-pundi uang semata.
Sebaliknya, bila seseorang mencintai pekerjaannya karena bidang itu sesuai dengan bakat dan passion-nya, ia tentu takkan mengotori tangannya dengan korupsi. Ia akan bekerja sepenuh hati dan bukannya cuma sibuk memburu uang, justru uanglah yang akan mengejarnya.
Dan saran saya: langkah pertama untuk menemukan bidang yang sesuai dengan bakat sejati seseorang adalah dengan Pemetaan Potensi Unggul.
(Temukan di Bab III: Rumus orang sukses dan orang gagal terkait soal kebahagiaan dalam bekerja!)
Masih ingat kisah Intan di pembukaan Bab 1?
Ayah Bunda Intan kebingungan karena putri mereka yang sudah duduk di tingkat akhir Fakultas Hukum tiba-tiba mogok kuliah. Ia tak mau lagi melanjutkan karena merasa bidang Hukum ternyata tak cocok baginya.
Setelah Intan menjalani Pemetaan Potensi Unggul, saya menyimpulkan kalau ia memang benar-benar salah jurusan. Ia pemalu dan segan bertemu orang baru. Lalu bagaimana ia harus berhadapan dengan klien atau koleganya?
“Saya membayangkan, jenis-jenis pekerjaan di bidang Hukum itu benar-benar tidak saya sukai. Saya nggak suka ngobrol, saya takut pada orang,” tutur Intan pada saya.
Melalui proses sekian lama, kami akhirnya menemukan potensi terunggul Intan. Ia berbakat dan berminat pada bidang computer graphic design. Ia betah berjam-jam di depan komputer. Ia tak perlu banyak bicara dengan manusia mana pun. Ia hanya perlu berhadapan dengan layar monitor. Dan itu membuatnya bahagia.
Syukurlah, orang tua Intan akhirnya mau (dan mampu!) mengizinkan putrinya untuk memulai kuliah dari awal lagi.
Saya katakan pada mereka, “Ayah Bunda mau meninggalkan warisan kebahagiaan atau penderitaan pada Intan?” Tentu saja, setiap orang tua pasti ingin mewariskan kebahagian.
Dan untunglah, orang tua Intan punya keleluasaan hati dan materi untuk mewujudkan impian putri mereka.
Tapi bayangkan betapa besar biaya, waktu dan tenaga yang telah dikeluarkan Intan dan Ayah Bundanya selama ia kuliah di tempat yang tidak tepat. Padahal semua itu bisa dihindari seandainya orang tua Intan melakukan Pemetaan Potensi Unggul pada anaknya sejak awal.
Lalu bayangkan juga apa jadinya bila Intan yang tidak berbakat di bidang Hukum dipaksa menyelesaikan kuliahnya dan bekerja di bidang itu.
Yang akan lahir tentu saja seorang pekerja unhappy yang sehari-hari hanya menunggu hari Jumat dan hari gajian.
Dan tak akan pernah bekerja sepenuh hati untuk menjadi yang terbaik di bidangnya.
di petik dari buku RAHASIA AYAH EDY MEMETAKAN POTENSI UNGGUL ANAK, sejak dini
Tersedia di Gramedia, Gunung Agung, Toga Mas, Paper Clip dll
atau bisa di beli secara on line melalui link berikut ini:
https://www.facebook.com/Pusat-pemesanan-buku-AYAH-EDY-1538959983042274/?fref=ts
Indonesia pada hakikatnya merupakan kumpulan dari keluarga yg tersebar dilebih dari 12.000 pulau yg ada di Nusantara. Apabila keluarga2 ini kuat, maka Indonesia akan menjadi Bangsa & Negara yg Kuat dgn sendirinya tanpa perlu konsep yg berbelit-belit & biaya yg membebani negara. Pastikan keluarga & sanak famili kita di seluruh tanah air telah bergabung dlm GERAKAN MEMBANGUN INDONESIA YANG KUAT DARI KELUARGA. Kalau bukan kita, siapa lagi ? Kalau bukan sekarang, kapan lagi ?
No comments:
Post a Comment