Ayah bunda, tulisan saya ini memang agak panjang, dan
hanya diperuntukkan bagi para orang tua yang tidak ingin anaknya tersesat
mengambil jurusan sekolah, sebagaimana yang ditulis dalam kisah nyata ini.
Jadi jika ingin dapat manfaatnya silahkan baca perlahan-lahan
sampai akhir...
Selamat membaca,
Beberapa waktu lalu, sepasang suami-istri datang menemui
saya. Begitu kami duduk berhadap-hadapan, saya bisa melihat kegundahan yang
terbayang jelas di wajah mereka.
“Kami bingung, Ayah Edy,” kata sang istri.
Nah, kalimat itu lagi. Selama delapan tahun ini,
menghadapi orangtua-orangtua yang bingung memang menjadi makanan saya
sehari-hari. Ada yang bingung karena anaknya dianggap bermasalah di sekolah,
ada yang bingung karena anaknya mogok belajar, ada yang bingung karena anaknya
susah diatur.
Benak saya mulai mereka-reka, kebingungan yang mana yang
sedang dialami pasangan suami-istri ini.
“Anak kami (sebut saja bernama Intan) saat ini sudah
kuliah tingkat akhir di Fakultas Hukum. Seharusnya ini semester terakhirnya.
Seharusnya dia sedang dalam proses menyelesaikan skripsi.
Tapi boro-boro menyelesaikan skripsi, anak kami malah tidak mau meneruskan
kuliahnya.
Dia tidak mau bekerja di bidang hukum. Padahal, kampusnya
sudah memberi ultimatum, kalau semester ini skripsinya tidak selesai juga, dia
harus drop out,” sang istri bercerita agak tersendat, menahan emosi.
Ah, rupanya kebingungan jenis ini yang sedang mereka
alami. Kebingungan yang dirasakan oleh anak-anak—dan orangtua—yang ‘tersesat’.
Suaminya melanjutkan. “Kami sudah coba membujuknya dengan
segala cara, Ayah. Kami sudah katakan, tanggung kalau dia berhenti sekarang.
Toh tinggal sedikit lagi, dia bisa mendapat gelar Sarjana Hukum.
Dia cuma perlu bertahan sebentar lagi saja. Kalau dia keluar
sekarang, berarti waktu bertahun-tahun yang dia habiskan di Fakultas Hukum, ya,
sia-sia. Percuma saja. Belum lagi biaya yang kami keluarkan. Sia-sia semua.”
Saya mengangguk-angguk. Masih belum berkata sepatah pun.
Biar mereka mengeluarkan seluruh unek-unek yang mengganjal selama ini.“Tapi
anak kami itu susah dibujuk.
Katanya, dia tidak cocok di Fakultas Hukum. Kalau pun dia
bisa lulus, dia tidak akan mau bekerja di bidang itu. Dia tidak suka. Itu bukan
bidangnya,” tutur sang suami, menambahkan. Wajahnya terlihat semakin gundah.
Istrinya kembali angkat bicara. “Kalau dia tidak cocok
kuliah di sana, kenapa baru sekarang sih, dia memberitahu kami? Kenapa tidak
dari dulu? Kalau sudah begini, kan serba salah. Serba nanggung. Kalau pun dia
keluar, terus dia mau sekolah di mana? Nanti kalau sudah kuliah di tempat lain,
lalu dia merasa tidak cocok lagi, apa mau mogok lagi? Drop out lagi? Berarti
kami harus keluar biaya lagi. Dia harus membuang waktu lagi. Lah kapan
kerjanya?”
Ibu ini sudah tak bisa menyembunyikan emosinya lagi.
***
Ayah-Bunda tercinta ....
Bila saya diibaratkan seorang dokter, kasus yang saya
hadapi ini mungkin sudah stadium lanjut.
Bayangkan, si anak sudah menghabiskan bertahun-tahun
waktu hidupnya untuk mempelajari bidang yang tak ia sukai. Ia sudah tersiksa
selama ratusan, bahkan ribuan jam dalam kelas-kelas yang tidak diminatinya. Ia
belajar tanpa tahu akan jadi apa ia kelak.
Dan di ujung masa kuliahnya, ketika ia seharusnya tinggal
selangkah lagi menyambut gerbang kelulusan, kesadaran mengentaknya. Ia tak
suka, tak mau, dan tak cocok belajar dan bekerja dalam bidang itu.
Atau jangan-jangan, ia sudah lama memendam rasa tidak
suka itu. Mungkin ia sudah lama menyadari kalau bidang itu memang bukan
untuknya. Namun bisa jadi, ia sungkan memberitahu orangtuanya.
Takut melihat reaksi mereka. Atau mungkin ia tak tahu,
bidang apa sebenarnya yang ia minati. Ia tak tahu apa sebenarnya cita-citanya.
Izinkan saya bertanya, akrabkah Anda dengan kisah nyata
ini?
Saya tak heran bila Anda menjawab ‘ya’. Kasus semacam ini
memang bukan hanya satu atau dua.
Kasus ini sangat banyak terjadi di antara kita. Ini
mungkin terjadi pada anak Anda, keponakan, anak kawan, anak tetangga, atau ...
jangan-jangan pada diri Anda sendiri?
Saya yakin kita sering melihat seorang anak yang didorong
untuk belajar, belajar, belajar terus. Sejak SD sampai SMA, ia dituntut
memperoleh nilai baik dalam semua ulangan dan mata pelajaran.
Karena, walaupun nilai bahasa Indonesianya delapan, jika
matematikanya lima, ia bisa terancam tidak naik kelas. Ia akan dianggap lemah
dalam bidang itu. Dan karena nilai matematikanya belum memenuhi standar, ia
akan digempur oleh les tambahan untuk mendongkrak nilainya.
Menjelang kelulusan SMA, ketika semua anak harus
menentukan universitas dan jurusan apa yang akan mereka pilih, ia kebingungan.
Ia tak tahu apa cita-citanya. Ia juga tak tahu bidang apa sebenarnya yang ia
minati.
Ketika ia bertanya kepada orangtuanya, jawaban mereka
hanya, “Pilih dong, Nak, jurusan-jurusan favorit. Pilih fakultas yang begitu
lulus, kamu bisa gampang mencari kerja, punya gaji tinggi. Jadi kamu bisa hidup
senang.” Lalu orangtuanya menyebutkan beberapa jurusan.
Bukannya tertarik, si anak malah semakin bingung karena
tak satu pun jurusan tadi yang benar-benar memikatnya.
Si anak lalu bertanya kepada teman-temannya. Ternyata
banyak teman ‘segengnya’ yang memilih Jurusan X. “Kamu pilih Jurusan X juga,
dong. Supaya kita bisa terus bareng-bareng pas kuliah nanti.”
Akhirnya, si anak memilih mengikuti teman-temannya. Atau,
ia mungkin mengikuti saran orangtuanya. Namun, apa pun yang dipilih, ia tak
memilih sesuai kata hatinya. Ia tak memilih bidang yang paling sesuai dengan
potensi terunggulnya—yang hingga saat itu masih terpendam.
Di tengah-tengah masa kuliah, si anak semakin menyadari
bahwa ini bukan jalannya, tetapi nasi sudah jadi bubur. Apa yang bisa ia
lakukan?
Sebagian anak—seperti contoh kasus tadi—akhirnya mungkin
tak tahan dan berterus terang kepada orangtuanya. Ia mogok melanjutkan
kuliahnya.
Namun sebagian lagi mungkin memilih untuk melanjutkan
kuliahnya walaupun tak meminati bidangnya. Bisa jadi, ia tak mau merepotkan
orangtuanya yang telah mengeluarkan banyak biaya untuk studinya. Atau
kemungkinan lain, kalaupun ia mundur dari kuliahnya saat ini, ia tak tahu
bidang apa yang cocok baginya.
***
INGATLAH SELALU bahwa Perilaku anak sehari-hari adalah
petunjuk tentang potensinya.
Tanpa Pemetaan, Sekolah adalah Expenses
Ayah dan Bunda terkasih, mengapa kerumitan ini bisa
terjadi?
Jawaban satu-satunya adalah karena kita luput atau abai
mengenali potensi terunggul anak-anak kita. Perilaku anak sehari-hari adalah
petunjuk tentang potensinya. Tapi orangtua terkadang lebih sibuk mengkursuskan
anak ini-itu atau bertanya, “Ada PR atau enggak?”, “Ujian sudah siap atau
belum?”
(seorang anak kecil lelaki yang manjat pohon. Ibunya
cemas di bawah pohon dan bilang ke suaminya,”Owala, anak kita tiap hari manjat
pohon jadi apa gedenya nanti, Pak? Masa jadi spiderman?”)
Padahal setiap anak terlahir sesuai fitrahnya.
Masing-masing anak menyimpan potensi unggul yang bila dikembangkan akan menjadi
penghidupan sekaligus kehidupan yang ia jalani kelak.
Berapa banyak anak-anak yang hanya sibuk sekolah dan
mengejar nilai, tanpa tahu apa minat dan cita-citanya, serta tak tahu harus
kuliah di bidang apa? Lalu ketika ia bingung, orangtua hanya menasihati agar ia
mengambil bidang favorit sehingga kelak mudah mencari pekerjaan bergaji tinggi?
Akhirnya, tanpa mengetahui sedikit pun tentang potensi
terunggul anak, kita cemplungkan anak ke dalam bidang, entah apa yang kita
pikir terbaik baginya. Syukur-syukur kalau si anak ternyata memang cocok dengan
bidang itu. Bagaimana bila tidak? Yang terjadi adalah kasus di atas.
Lalu, bagaimana sebaiknya?
Bagaimana seharusnya Ayah dan Bunda meminimalisir
kesalahan macam itu?
Mudah saja. Seharusnya, proses ini dibalik. Kita cari
tahu dulu minat si anak, apa potensi terunggulnya, dan cita-citanya yang paling
spesifik. Setelah itu, barulah bisa ditentukan sekolah atau jurusan apa yang
paling tepat sesuai potensi dan cita-citanya itu.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita mengetahui potensi
terunggul anak? Mungkin selama di sekolah, hampir semua nilai anak kita tinggi.
Bahasa Inggris bagus, matematika bagus, IPA bagus, IPS bagus. Jadi, yang mana
potensi unggulnya? Atau sebaliknya, mungkin selama ini ia hanya anak
‘rata-rata’. Anak yang setiap tahun selalu naik kelas, nilai-nilainya tak
pernah merah, tetapi juga tak ada yang benar-benar menonjol.
Bingung?
Tenang saja. Ada cara yang terbukti efektif untuk
mengetahui potensi buah hati kita, yaitu dengan “Pemetaan Potensi Unggul Anak”.
Tanpa pemetaan potensi, sedikitnya ada tiga akibat yang
bisa terjadi. Antara lain, seperti digambarkan oleh kasus tadi: Sekolah menjadi
expenses alias biaya. Biaya yang dimaksud salah satunya tentu bisa berarti
uang.
Bayangkan berapa puluh juta—atau bahkan ratusan juta—yang
telah keluar untuk menyekolahkan seorang anak bertahun-tahun, mengkursuskan ini
itu, belum lagi ongkos transportasi sehari-hari.
Lalu bagaimana kalau kasus Intan terjadi pada anak Anda?
Umumnya, orangtua hanya punya satu anggaran pendidikan untuk satu anak. Ketika
terjadi hal di luar dugaan seperti ini, sanggupkah Anda menganggarkan biaya
pendidikan lagi untuk anak?
Syukur-syukur kalau Anda menjawab ‘sanggup’.
Syukur-syukur kalau anak Anda cuma satu, sehingga Anda tak perlu memikirkan
biaya pendidikan adik-adiknya.
Bila seseorang bersekolah sesuai potensi, biaya yang
dikeluarkan akan menjadi INVESTASI, tetapi bila tidak, akan menjadi EXPENSES.
Namun bagaimana kalau Anda tak sanggup?Apakah itu berarti
Anda akan memaksa anak untuk menyelesaikan kuliahnya—walaupun itu berarti
menyiksanya lebih lama lagi?
Lalu setelah kelulusan yang ‘dipaksakan’, anak Anda akan
kebingungan mencari pekerjaan (karena ia tak menyukai bidang studinya), lalu
akhirnya terdampar dalam jenis pekerjaan lain yang jauh berbeda dari bidangnya
selama ini?
Berapa banyak lulusan Teknik Arsitektur yang bekerja di
media?
Berapa banyak lulusan Biologi yang bekerja di bank?
Berapa banyak lulusan Pertanian yang bekerja sebagai
Public Relation? Atau bisa jadi, ia memilih pekerjaan sesuai bidang studinya.
Tentu mungkin saja. Namun bagaimana pun, bila bidang itu
bukanlah potensi unggulnya dan ia tak menyukainya, ia hanya akan menjadi
pekerja yang pas-pasan.
Intinya, bila seseorang bersekolah atau mengambil kursus
sesuai potensi, biaya yang dikeluarkan akan menjadi INVESTASI, tetapi bila tidak,
akan menjadi EXPENSES.
Selain materi, expenses juga berarti waktu. Bila
ditimbang-timbang, kerugian karena hilangnya waktu bertahun-tahun mungkin
bahkan lebih berat daripada kehilangan uang.
Ada ungkapan, ‘It’s never too late to follow your passion’.
Tak pernah terlambat untuk mengikuti passion Anda. Kita selalu bisa memulai di
usia berapa pun.
Namun bayangkan apa jadinya bila potensi terunggul
dipupuk sejak kecil?
Baca lanjutannya di buku Rahasia Ayah Edy Memetakan
Potensi Unggul Anak Sejak Dini.
Bisa di baca2 dulu saat kita mampir ke Gramedia atau toko
buku lainnya.
by ayah edy
web resmi: www.ayahkita.blogspot.com
sumber gambar: kementrian humor indonesia fb.
No comments:
Post a Comment