Namaku Joe. Hanya Joe. Sebenarnya nama yang tertera di surat lahirku
cukup panjang, tapi sulit bagiku untuk menulis rangkaian huruf demi
huruf itu membentuk namaku. Jadi, aku mengatakan pada semua orang,
namaku hanya tiga huruf J-O-E.
Ketika kecil, aku didaftarkan di
sebuah sekolah terkenal di kota kelahiranku. Sekolah ini terkenal dengan
murid-muridnya yang mempunyai tulisan halus kasar yang bagus sekali,
bahkan sejak mereka di bangku Taman Kanak-Kanak.
Aku selalu memakai
tangan kiri untuk melakukan semua kegiatan, termasuk belajar menulis.
Entah kenapa, tangan kananku tidak sekuat tangan kiriku, orang-orang
menyebutku kidal. Guru-guruku di TK selalu memaksaku menulis memakai
tangan kanan, bahkan mereka pernah memukul jari-jariku dengan penggaris
panjang ketika aku memakai tangan kiri untuk belajar menulis, tapi aku
tidak bisa. Mereka baru berhenti memarahiku ketika papa datang ke
sekolah dan meminta mereka membiarkanku memakai tangan kiri. Papa
berpendapat, tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Ibu guru berusaha
memegang tanganku untuk mengajarkanku menulis indah, tapi hasilnya
tidak indah. Setelah sekian lama, akhirnya Ibu guru menyerah, dan
membiarkanku dengan tulisan cakar ayamku.
Saat memasuki bangku SD,
mimpi burukku bermula. Kami diharuskan mencatat dalam kalimat
panjang-panjang. Aku mencatat dengan pelan sekali, aku membaca tulisan
di papan tulis dengan susah payah, aku tidak mengerti apa arti rangkaian
huruf-huruf itu. Huruf-huruf itu seakan-akan berterbangan di otakku,
menari-nari dan bernyanyi diiringi irama ceria, tra-la-la tri-l-li...
Sungguh mengasyikkan! :D Kadang kala aku tenggelam dalam imajinasiku,
membayangkan pensilku sebagai baling-baling bambu Doraemon, aku terbang
melintasi awan-awan yang berbentuk seperti huruf-huruf dan angka-angka
di papan tulis. Hahaha… Tapi kadang-kadang juga, tiba-tiba aku teringat
wajah Ibu guru yang sedang marah, aku berusaha memindahkan bentuk
huruf-huruf di papan tulis ke buku catatanku, tapi yah.. dari 10 kalimat
yang harus kucatat, paling bisa aku hanya berhasil memindahkan 3 atau 4
kalimat, itupun dengan susah payah.
Hampir setiap hari Ibu Guru selalu
menulis kata-kata ‘malas, suka melamun, nakal, tidak mau mencatat’ dan
banyak kata-kata lainnya di buku jurnalku. Aku sedih sekali, aku merasa
aku sudah berusaha keras. Ditambah lagi, aku tahu, jika nanti di rumah,
sepulangnya mama dari kantor dan memeriksa tas sekolahku, beliau akan
marah besar dan menghukumku jika beliau membaca pesan-pesan yang ditulis
Ibu guru. :((
Sebenarnya aku kasihan juga pada mama. Mama setiap
hari harus menelepon ke teman-teman sekelasku untuk mencatat pelajaran
hari itu, sekaligus mencatat soal-soal PR yang diberikan Ibu guru, yang
harus dikumpulkan besok. Mama tidak mau aku dihukum Ibu guru. Soal-soal
matematika itu tidak sulit bagiku, aku bisa mengerjakannya dengan mudah.
Tapi jangan suruh aku menulis indah, aku benci! Aku benci karena aku
tahu, aku pasti mendapatkan stempel jempol mengarah kebawah besok,
dengan warna tinta merah pula! Membuat aku merasa murid paling bodoh di
kelas!
Hari-hari sekolah bagaikan mimpi terburukku. Di sekolah Ibu
guru selalu berteriak padaku, mengganggu ketika aku asyik melamun yang
indah-indah. Di rumah, mama selalu kelihatan stress dan emosi ketika
melihat buku-buku catatanku. Aku tidak mengerti, mengapa aku harus
menulis jawaban ‘biru’ untuk warna langit, sedangkan aku tahu,
kadang-kadang langit kelihatan berwarna putih, merah jingga yang indah
sekali atau bahkan hitam gelap ketika mau hujan. Aku juga tidak
mengerti, mengapa Ibu guru marah ketika aku merangkak di kolong meja
untuk mengambil penghapus temanku yang jatuh atau ketika aku asyik
mengamati burung kecil yang hinggap di jendela kelas, dekat tempat
dudukku. Ibu guru tidak tahu ya, betapa aku berjuang menahan kelopak
mataku yang hampir selalu tertutup di kelas yang membosankan ini.
Suatu
hari, entah keajaiban apa yang terjadi. Mama manis sekali kepadaku,
selalu tersenyum sepanjang hari. Hari itu tidak ada bentakan sama
sekali, tidak ada kerutan di kening dan wajah muram ketika menemaniku
membuat PR. Bahkan mama tidak marah pada koko ku, walaupun dia mendapat
nilai 5 di ujian bahasa Mandarinnya. Sejak hari itu, dunia seakan penuh
warna, mama jarang sekali marah-marah lagi. Mama berkata, “Tidak ada
yang salah dengan dirimu, anakku. Sekolahmulah yang tidak cocok untuk
kamu. Maafkan mama, selama ini mama mengira kamu tidak mau berusaha
untuk berubah, mama salah.”
Mama membawa aku jalan-jalan ke banyak
sekolah di kota kami. Bertanya banyak sekali pada guru-guru disana.
Memperhatikan bagaimana cara guru-guru itu berbicara padaku.
Kadang-kadang aku merasa sedikit kasihan melihat guru-guru itu
kebingungan menjawab pertanyaan mamaku yang cerewet, hahaha… Maaf, mama!
( Mama bilang aku harus jadi anak yang jujur kan? :p)
Aku pindah
ke sekolah yang bagus. Teman-teman sekelasku tidak sebanyak teman di
sekolahku yang lama. Tapi mereka baik, mereka tidak pernah mengatakan
aku bodoh, pemalas atau aneh. Guru-guruku malah selalu memujiku,
mengatakan aku anak yang pintar, sangat kreatif, dan punya banyak ide
cemerlang.
Ibu guru tidak perduli dengan tulisanku yang seperti cakar
ayam, membenarkan jawabanku meskipun kadang-kadang aku terbalik
menuliskan angka 3 menjadi E, b menjadi d. Guru Sains ku menuliskan
opini ‘Joe is so good at science. He will become master of science if he
read a lot of science books.’ di laporan bulananku.
Kawan, tahu ga?
Aku merasa menjadi anak pintar disini, aku dengan penuh semangat ikut
Olimpiade Sains tingkat nasional, aku mempelajari banyak sekali
komik-komik sains, aku melakukan banyak eksperimen fisika, capek tapi
senang! Aku lolos sampai tingkat semi final lho! Hahaha… senang sekali.
Aku ingin menjadi seorang penemu kelak, kalau aku sudah besar. Aku ingin
menemukan ‘Pintu Ajaib’, agar orang-orang bisa pergi ke tempat lain
dalam sekejap, tidak usah naik mobil dan terkena macet lagi.
Jalan-jalan
bisa diubah jadi taman bunga atau taman hiburan anak-anak, seperti
Disneyland gitu lho. Atau jadi water park yang asyik, atau lapangan
sepak bola. Pasti menyenangkan! Akan kujual penemuanku ini ke seluruh
dunia, aku pasti jadi kayaaa sekali. Aku mau bangun sekolah-sekolah yang
bagus, ga usah bayar! Biar aku yang bayarin uang sekolahnya! :D
Eh,
akhirnya aku tahu, apa yang terjadi!
Aku mendengarkan ketika mama
berbicara dengan penuh semangat kepada sahabatnya, sesuatu tentang ‘anak
dominan otak kanan’, buku-buku, dan satu nama ‘Ayah Edy’. Siapa itu?
Banyak temanku yang bernama Edy, banyak juga teman papaku yang bernama
Edy. Yang mana ya? Entahlah, kurasa kapan-kapan saja aku baru mencari
tahu, yang mana Ayah Edy yang dimaksud.
Yang kutahu, beliau telah
berhasil mengubah mama. Mama yang sebelumnya keras, selalu menginginkan
kami mendapatkan nilai yang bagus di sekolah, pelit pujian dan sering
marah-marah, benar-benar berubah menjadi seorang malaikat.
Jika suatu
hari nanti, aku bisa bertemu Ayah Edy sahabat mama itu, aku pasti akan
memeluknya dan berbisik, “Terima kasih, Ayah. Ayah mengubah duniaku!”
Based on a true story
June'12
Mama Joe (9thn)
Cen Mei Ling