Indonesia pada hakikatnya merupakan kumpulan dari keluarga yg tersebar dilebih dari 12.000 pulau yg ada di Nusantara. Apabila keluarga2 ini kuat, maka Indonesia akan menjadi Bangsa & Negara yg Kuat dgn sendirinya tanpa perlu konsep yg berbelit-belit & biaya yg membebani negara. Pastikan keluarga & sanak famili kita di seluruh tanah air telah bergabung dlm GERAKAN MEMBANGUN INDONESIA YANG KUAT DARI KELUARGA. Kalau bukan kita, siapa lagi ? Kalau bukan sekarang, kapan lagi ?
SATU-SATUNYA SITUS RESMI AYAH EDY
Saturday, April 1, 2017
BERBAGI PENGALAMAN MENDIDIK ANAK-ANAK KU
Ketika dulu perilaku anak-anak saya bermasalah....
yang pertama saya lakukan adalah mencari dan menemukan prilaku saya yang bermasalah....
Karena saya sadar anak adalah peniru yg ulung
Karena saya sadar jadi orang tua itu tidak ada sekolahnya
Karena saya sadar anak terlahir tanpa buku manual
Setelah lama mencari, Akhirnya saya menemukan paling tidak ada 37 kesalahan orang tua yang telah membuat perilaku anak saya bermasalah.
Ketika satu per satu perilaku saya dan istri berubah, maka alhamdulilah perilaku anak saya juga berubah menjad baik.
Hanya saja kami perlu waktu lebih dari 4 tahun untuk mencari dan menemukan apa saja perilaku kami yang bermasalah itu.
Tapi kini ayah dan bunda tidak perlu repot2 lagi cukup baca saja buku ini dan ubahlah satu persatu perlaku kita yang bermasalah.
Maka lihat saja hasilnya...
Berikut saya tuliskan 10 dari 37 perilaku bermasalah orang tua yang menghasilkan perilaku buruk pada anaknya.
1. Raja yang Tak Pernah Salah
Sewaktu anak kita masih kecil dan belajar jalan tidak jarang tanpa sengaja mereka menabrak kursi atau meja. Lalu mereka menangis. Umumnya, yang dilakukan oleh orang tua supaya tangisan anak berhenti adalah dengan memukul kursi atau meja yang tanpa sengaja mereka tabrak. Sambil mengatakan, “Siapa yang nakal ya? Ini sudah Papa/Mama pukul kursi/mejanya…sudah cup….cup…diem ya..Akhirnya si anak pun terdiam.
Ketika proses pemukulan terhadap benda benda yang mereka tabrak terjadi, sebenarnya kita telah mengajarkan kepada anak kita bahwa ia tidak pernah bersalah.
Yang salah orang atau benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga ia dewasa. Akibatnya, setiap ia mengalami suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah orang lain, dan dirinya selalu benar. Akibat lebih lanjut, yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang lain yang tidak melakukan suatu kekeliruan atau kesalahan.
Kita sebagai orang tua baru menyadari hal tersebut ketika si anak sudah mulai melawan pada kita. Perilaku melawan ini terbangun sejak kecil karena tanpa sadar kita telah mengajarkan untuk tidak pernah merasa bersalah.
Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan ketika si anak yang baru berjalan menabrak sesuatu sehingga membuatnya menangis? Yang sebaiknya kita lakukan adalah ajarilah ia untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi; katakanlah padanya (sambil mengusap bagian yang menurutnya terasa sakit): ” Sayang, kamu terbentur ya. Sakit ya? Lain kali hati-hati ya, jalannya pelan-pelan saja dulu supaya tidak membentur lagi.”
2. Berbohong Kecil
Awalnya anak-anak kita adalah anak yang selalu mendengarkan kata-kata orang tuanya, Mengapa? KArena mereka percaya sepenuhnya pada orang tuanya. Namun, ketika anak beranjak besar, ia sudah tidak menuruti perkataan atau permintaan kita? Apa yang terjadi? Apakah anak kita sudah tidak percaya lagi dengan perkataan atau ucapan-ucapan kita lagi?
Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak berkeliling perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si kecil ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru pergi? Atau yang ekstrem kita mengatakan, “Papa/Mama hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya, sebentaaar saja ya, Sayang.” Tapi ternyata, kita pulang malam. Contah lain yang sering kita lakukan ketika kita sedang menyuapi makan anak kita, “Kalo maemnya susah, nanti Papa?Mama tidak ajak jalan-jalan loh.” Padahal secara logika antara jalan-jalan dan cara/pola makan anak, tidak ada hubungannya sama sekali.
Dari beberapa contah di atas, jika kita berbohong ringan atau sering kita istilahkan “bohong kecil”, dampaknya ternyata besar. Anak tidak percaya lagi dengan kita sebagai orang tua. Anak tidak dapat membedakan pernyataan kita yang bisa dipercaya atau tidak. akibat lebih lanjut, anak menganggap semua yang diucapkan oleh orang tuanya itu selalu bohong, anak mulai tidak menuruti segala perkataan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan penuh kasih dan pengertian:
“Sayang, Papa/Mama mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo Papa/Mama ke kebun binatang, kamu bisa ikut.”
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita harus bersabar dan lakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami keadaan mengapa orang tuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut. Sebaliknya bila pergi ke tempat selain kantor, anak pasti diajak orang tuanya. Pastikan kita selalu jujur dalam mengatakan sesuatu. Anak akan mampu memahami dan menuruti apa yang kita katakan.
3. Banyak Mengancam
“Adik, jangan naik ke atas meja! nanti jatuh dan nggak ada yang mau menolong!”
“Jangan ganggu adik,nanti MAma/Papa marah!”
Dari sisi anak pernyataan yang sifatnya melarang atau perintah dan dilakukan dengan cara berteriak tanpa kita beranjak dari tempat duduk atau tanpa kita menghentikan suatu aktivitas, pernyataan itu sudah termasuk ancaman. Terlebih ada kalimat tambahan “….nanti Mama/Papa marah!”
Seorang anak adalah makhluk yang sangat pandai dalam mempelajari pola orang tuanya; dia tidak hanya bisa mengetahui pola orang tuanya mendidik, tapi dapat membelokkan pola atau malah mengendalikan pola orang tuanya. Hal ini terjadi bila kita sering menggunakan ancaman dengan kata-kata,namun setelah itu tidak ada tindak lanjut atau mungkin kita sudah lupa dengan ancaman-ancaman yang pernah kita ucapkan
Apa yang sebaiknya kita lakukan? .
Kita tidak perlu berteriak-teriak seperti itu. Dekati si anak, hadapkan seluruh tubuh dan perhatian kita padanya. tatap matanya dengan lembut, namum perlihatkan ekspresi kita tidak senang dengan tindakan yang mereka lakukan. Sikap itu juga dipertegas dengan kata-kata, “Sayang, Papa/Mama mohon supaya kamu boleh meminjamkan mainan ini pada adikmu. Papa/Mama akan makin sayang sama kamu.” Tidak perlu dengan ancaman atau teriaka-teriakan. Atau kita bisa juga menyatakan suatu pernyataan yang menjelaskan suatu konsekuensi, misal “Sayang, bila kamu tidak meminjamkan mainan in ke adikmu,Papa/Mama akan menyimpan mainan ini dan kalian berdua tidak bisa bermain. MAinan akan Papa/Mama keluarkan, bila kamu mau pinjamkan mainan itu ke adikmu. Tepati pernyataan kita dengan tindakan.
4. Bicara Tidak Tepat Sasaran
Pernahkah kita menghardik anak dengan kalimat seperti, “Papa/Mama tidak suka bila kamu begini/begitu!” atau “Papa/Mama tidak mau kamu berbuat seperti itu lagi!” Namun kita lupa menjelaskan secara rinci dan dengan baik, hal2 atau tindakan apa saja yang kita inginkan. Anak tidak pernah tahu apa yang diinginkan atai dibutuhkan oleh orang tuanya dalam hal berperilaku. Akibatnya anak terus mencoba sesuatu yang baru. Dari sekian banyak percobaan yang dilakukannya, ternyata selalu dikatakan salah oleh orang tuanya. Hal ini mengakibatkan mereka berbalik untuk dengan sengaja melakukan hal2 yang tidak disukai orang tuanya. Tujuannya untuk mrmbuat orang tuanya kesal sebagia bentuk kekesalan yang juga ia alami (tindakannya selalu salah di hadapan orang tua).
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Sampaikanlah hal2 atau tindakan2 yang kita inginkan atau butuhkan pada saat kita menegur mereka terhadap perilaku atau hal yang tidak kita sukai.Komnikasikan secara intensif hal atau perilaku yang kita inginkan atau butuhkan. Dan pada waktunya, ketika mereka sudah megalami dan melakukan segala hal atau perilaku yang kita inginkan atau butuhkan , ucapkanlah terimakasih dengan tulus dan penuh kasih sayang atas segala usahanya untuk berubah.
5. Menekankan pada Hal-hal yang salah
Kebiasaan ini hampir sama dengan kebiasaan di atas. Banyak orang tua yang sering mengeluhkan tentang anak2nya tidak akur, suka bertengkar. Pada saat anak kita bertengkar, perhatian kita tertuju pada mereka, kita mencoba melerai atau bahkan memarahi. Tapi apakah kita sebagai orang tua memperhatikan mereka pada saat mereka bermain dengan akur? Kita seringkali menganggapnya tidak perlu menyapa mereka karena mereka sedang akur. Pemikiran tersebut keliru, karena hak itu akan memicu mereka untuk bertengkar agar bisa menarik perhatian orang tuanya,
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berilah pujian setiap kali mereka bermain sengan asyik dan rukun, setiap kali mereka berbagi di antara mereka dengan kalimat sederhana dan mudah dipahami, misal: ”Nah, gitu donk kalau main. Yang rukun.” Peluklah mereka sebagai ungkapan senang dan sayang.
6. Merendahkan Diri Sendiri
Apa yang anda lakukan kalau melihat anak anda bermain Playstation lebih dari belajar? Mungkin yang sering kita ucapkan pada mereka, “Woy… mati in tuh PS nya, ntar dimarahin loh sama papa kalo pulang kerja!” Atau kita ungkapkan dengan pernyataan lain, namun tetap dengan figur yang mungkin ditakuti oleh anak pada saat itu. Contoh pernyataan ancaman diatas adalah ketika yang ditakuti adalah figur Papa.
Perhatikanlah kalimat ancaman tersebut. Kita tidak sadar bahwa kita telah mengajarkan pada anak bahwa yang mampu untuk menghentikan mereka maen ps adalah bapaknya, artinya figure yang hanya ditakuti adalah sang bapak. Maka jangan heran kalau jika anak tidak mengindahkan perkataan kita karena kita tidak mampu menghentikan mereka maen ps.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Siapkanlah aturan main sebelum kita bicara; setelah siap, dekati anak, tatap matanya, dan katakan dengan nada serius bahwa kita ingin ia berhenti main sekarang atau berikan pilihan, misal “Sayang, Papa/Mama ingin kamu mandi. Kamu mau mandi sekarang atau lima menit lagi?” bila jawabannya “lima menit lagi Pa/Ma”. Kita jawab kembali, “Baik, kita sepakat setelah lima menit kamu mandi ya. Tapi jika tidak berhenti setelah lima menit, dengan terpaksa papa/mama akan simpan PS nya di lemari sampai lusa”. Nah, persis setelah lima menit, dekati si anak, tatap matanya dan katakan sudah lima menit, tanpa tawar menawar atau kompromi lagi. Jika sang anak tidak nurut, segera laksanakan konsekuensinya.
7. Papa dan Mama Tidak Kompak
Mendidik abak bukan hanya tanggung jawab para ibu atau bapak saja, tapi keduanya. Orang tua harus memiliki kata sepakat dalam mendidik anak2nya. Anak dapat dengan mudah menangkap rasa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya. Misal, seorang Ibu melarang anaknya menonton TV dan memintanya untuk mengerjakan PR, namun pada saat yang bersamaan, si bapak membela si anak dengan dalih tidak mengapa nonton TV terus agar anak tidak stress. Jika hal ini terjadi, anak akan menilai ibunya jahat dan bapaknya baik, akibatnya setiap kali ibunya memberi perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung di balik pembelaan bapaknya. Demikian juga pada kasus sebaliknya. Oleh karena itu, orang tua harus kompak dalam mendidik anak. Di hadapan anak, jangan sampai berbeda pendapat untuk hal2 yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak. Pada saat salah satu dari kita sedang mendidik anak, maka pasangan kita harus mendukungnya. Contoh, ketika si Ibu mendidik anaknya untuk berlaku baik terhadap si Kakak, dan si Ayah mengatakan ,”Kakak juga sih yang mulai duluan buat gara2…”. Idealnya, si Ayah mendukung pernyataan, “Betul kata Mama, Dik. Kakak juga perlu kamu sayang dan hormati….”
8. Campur Tangan Kakek, Nenek, Tante, atau Pihak Lain
Pada saat kita sebagai orang tua sudah berusaha untuk kompak dan sepaham satu sama lain dalam mendidik anak-anak kita, tiba-tiba ada pihak ke-3 yang muncul dan cenderung membela si anak. Pihak ke-3 yang dimaksud seperti kakek, nenek, om, tante, atau pihak lain di luar keluarga inti.
Seperti pada kebiasaan ke-7 (Papa dan Mama tidak Kompak), dampak ke anak tetap negatif bila dalam satu rumah terdapat pihak di luar keluarga inti yang ikut mendidik pada saat keluarga inti mendidik; Anak akan cenderung berlindung di balik orang yang membelanya. Anak juga cenderung melawan orang tuanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pastikan dan yakinkan kepada siapa pun yang tinggal di rumah kita untuk memiliki kesepakatan dalam mendidik dan tidak ikut campur pada saat proses pendidikan sedang dilakukan oleh kita sebagai orang tua si anak. Berikan pengertian sedemikian rupa dengan bahasa yang bisa diterima dengan baik oleh para pihak ke-3.
9. Menakuti Anak
Kebiasaan ini lazim dilakukan oleh para orang tua pada saat anak menangis dan berusaha untuk menenangkannya. Kita juga terbiasa mengancam anak untuk mengalihkan perhatiannya, “Awas ada Pak Satpam, ga boleh beli mainan itu!” Hasilnya memang anak sering kali berhenti merengek atau menangis, namun secara tidak sadar kita telah menanamkan rasa takut atau benci pada institusi atau pihak yang kita sebutkan.
Sebaiknya, berkatalah jujur dan berikan pengertian pada anak seperti kita memberi pengertian kepada orang dewasa karena sesungguhnya anak2 juga mampu berpikir dewasa. Jika anak tetap memaksa, katakanlah dengan penuh pengertian dan tataplah matanya, “Kamu boleh menangis, tapi Papa/Mama tetap tidak akan membelikan permen.” Biarkan anak kita yang memaksa tadi menangis hingga diam dengan sendirinya.
10. Ucapan dan Tindakan Tidak Sesuai
Berlaku konsisten mutlak diperlukan dalam mendidk anak. Konsisten merupakan keseuaian antara yang dinyatakan dan tidakan. Anak memiliki ingatan yang tajam terhadap suatu janji, dan ia sanga menghormati orang-orang yang menepati janji baik untuk beri hadiah atau janji untuk memberi sanksi. So, jangan pernah mengumbar janji ada anak dengan tujuan untuk merayunya, agar ia mengikuti permintaan kita seperti segera mandi, selalu belajar, tidak menonton televisi. Pikirlah terlebih dahulu sebelum berjanji apakah kita benar-benar bisa memenuhi janji tersebut. Jika ada janji yang tidak bisa terpenuhi segeralah minta maaf, berikan alasan yang jujur dan minta dia untuk menentukan apa yang kita bisa lakukan bersama anak untuk mengganti janji itu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment