Ayah please Help aku dan suami masih belum sepaham dalam
mendidik anak2ku ?
Tanya:
Halo Ayah Edy, Perkenalkan saya Laura (Bukan nama
sesungguhnya)
Saya sebagai ibu baru sangat butuh masukan dari ayah Edy
mengenai anak saya, Daffa (6 Bln). Akhir^ ini saya sering kali berbeda pendapat
dengan suami saya masalah penanganan anak.
Saya cenderung lebih tenang dalam penanganan anak dibanding
suami saya.
Saya cuma mau Daffa menjadi anak yang tdk manja & kuat
menghadapi situasi apapun walaupun tidak ada saya atau ayahnya disamping dia.
Menurut saya aturan yang suami sy terapkan ke Daffa terlalu
mengekang gerak anak saya, seperti tidak boleh keluar halaman rumah (karna
banyak debu & asap knalpot alasannya), Sangat khawatir kalau Daffa ditengah
orang banyak dsb.
Menurut saya wajar memang sebagai orang tua khawatir dengan
anaknya, cuma kalau terlalu men-sterilkan anak juga kan dampaknya kurang baik
untuk anak saya, apalagi Daffa anak lelaki, biarkan dia bebas yang penting
tetap terpantau oleh orang tuanya.
Saya cuma khawatir nantinya anak saya menjadi pribadi yang
tidak mandiri dan penakut didepan orang banyak. Misalnya pada saat masuk sekolah nanti.
Mohon tanggapan Ayah Edy, apakah selama ini cara saya yang
terlalu tenang itu salah ? Bagaimana manjadi orang tua yang ideal bagi anak ?
dan bagaimana cara saya mengahadapi sikap suami saya tsb ?
Terima kasih atas perhatiannya,
Best Regards,
Laura (bukan nama sesungguhnya)
Laura (bukan nama sesungguhnya)
Jawab:
Bu Laura yang baik,
Sebenarnya perbedaan pendapat dalam mendidik anak antara
Suami dan Istri adalah sebuah proses yang alamiah dalam upaya memberikan yang
terbaik bagi buah hati tercinta. Mengapa hal ini bisa terjadi, karena memang
setiap menusia memiliki pikiran atau keyakinan pribadi yang berbeda, yang kerap
kali dianggapnya sebagai kebernaran baginya.
Sebagian besar keyakinan ini pada umumnya dibentuk dari
orang tua dan lingkungan dimana mereka dulu dibesarkan. Nah masalahnya adalah
jika pola mendidik yang diterapkan pada anak hanyalah didasarkan pada warisan
dari orang tua kita masing-masing, sudah pasti ketidaksepakatan akan terus
terjadi. Hal ini tentu saja akan
membawa akibat kurang baik bagi perkembangan mental dan prilaku anak kita
kelak.
Agar hal ini
tidak menjadi konflik yang berkepanjangan, sepertinya perlu dibangun sebuah
jembatan yang fondasinya bersumber dari ilmu pengetahuan ilmiah, agar bisa
memberikan solusi positif bagi kedua belah pihak.
Dalam kasus ini
saya melihat ada perbedaan keinginan yang mendasar antara Ibu dan Suami, yang
keduanya memiliki tujuan yang sama-sama baik, Karena Tujuan orang tua biasanya
selalu untuk kebaikan anak, namun masalahnya adalah cara yang dipilih apakah
sudah tepat..?
Saya melihat
dalam hal ini, disatu sisi Suami ingin Daffa terlindungi, disisi lain ibu ingin
Daffa bisa mandiri. Jadi tugas ibu dan suami adalah mencari jalan keluar
bagaiamana agar Daffa bisa Mandiri dalam kondisi yang tetap terlindungi. Inilah
sebenarnya yang menjadi kata kuncinya.
Untuk itu mari
kita bedah dua hal berikut:
1. Faktor-faktor
apa saja sih yang membuat seorang anak tidak mandiri secara mental dan fisik..?
Menurut pengalaman kami seorang anak akan cenderung tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri apa bila:
• Terlalu banyak diberi kemudahan dalam memperoleh sesuatu, terlalu banyak di bantu, tidak pernah diberikan kesempatan untuk mencoba, tidak boleh berbuat salah, telalu banyak dilarang, terlalu banyak di bela apa bila bersalah, kurang di puji, selalu dipersalahkan, selalu di atur dan tidak memiliki kesempatan untuk memilih sesuai keinginanya.
• Seorang anak akan tidak mandiri secara fisik, jika terlalu dilindungi atau berada di lingkungan yang terlalu steril. Hal ini sesuai dengan prinsip kekebalan tubuh anak, apa bila anak tidak pernah mengalami sakit-sakit ringan maka sistem kekebalan tubuhnya tidak terlatih untuk berkembang.
2. Penetapan
batas-batas toleransi melindungi mental dan fisik seorang anak.
Tentu saja segala sesuatu memiliki batas-batas toleransi agar bisa menjadi baik bagi anak kita. Misalnya saja untuk tingkat polusi udara ada batas-batas yang bisa di toleransi dan ada yang sudah di anggap bahaya, demikian juga dengan proses mendidik anak. Oleh karena itu buatlah batas-batas toleransi yang boleh dan tidak bagi anak. Intinya adalah bahwa apa bila suatu kondisi sudah membahayakan jiwa anak, maka perlu dilakukan tindakan-tindakan perlindungan dan pencegahan namun jika masih bisa di upayakan, maka persiapkan diri kita dalam kondisi siaga untuk menolong. Misalnya; pada saat anak berlatih untuk bisa naik dan turun tangga sendiri, maka persiapkan diri kita pada posisi jika seandainya anak kita jatuh maka di tempat itulah kita bersiaga untuk siap membantunya. Dan bukannya melarang ia untuk belajar naik dan turun tangga tsb.
Tentu saja segala sesuatu memiliki batas-batas toleransi agar bisa menjadi baik bagi anak kita. Misalnya saja untuk tingkat polusi udara ada batas-batas yang bisa di toleransi dan ada yang sudah di anggap bahaya, demikian juga dengan proses mendidik anak. Oleh karena itu buatlah batas-batas toleransi yang boleh dan tidak bagi anak. Intinya adalah bahwa apa bila suatu kondisi sudah membahayakan jiwa anak, maka perlu dilakukan tindakan-tindakan perlindungan dan pencegahan namun jika masih bisa di upayakan, maka persiapkan diri kita dalam kondisi siaga untuk menolong. Misalnya; pada saat anak berlatih untuk bisa naik dan turun tangga sendiri, maka persiapkan diri kita pada posisi jika seandainya anak kita jatuh maka di tempat itulah kita bersiaga untuk siap membantunya. Dan bukannya melarang ia untuk belajar naik dan turun tangga tsb.
Sekarang mari
kita ambil contoh bagaimana kita bisa menjembatani dua keinginan yang berbeda;
Misalnya Ibu ingin Daffa di beri sedikit keleluasaan untuk bisa keluar rumah
dan beradaptasi dengan lingkungan luar yang berdebu dan polusif. Sementara
Suami ibu khawatir jika dia keluar rumah akan bergaul dengan anak lain yang
prilakunya kurang terpuji serta takut terkena polusi asap dan debu.
Langkah yang
tepat untuk menjembatani kondisi ini adalah dengan membuat sejumlah alternatif
sebagai solusi kedua keinginan tersebut di atas; berikut adalah contoh-contoh
alternatif solusi yang bisa kita ambil dan sepakati bersama;
1. Jika kita
takut anak kita bergaul dengan anak yang berprilaku kurang baik, maka kita bisa
memonitor setiap perubahan prilaku anak kita untuk bisa diluruskan kembali;
Sebagai catatan; seorang anak perlu mengetahui sesuatu yang buruk agar ia bisa
belajar tentang yang baik dan membedakan keduanya.
2. Aternatif ke
dua, mengundang teman-temannya untuk bermain di rumah, jadi kita bisa memonitor
proses yang sedang mereka lakukan bersama sekaligus bisa terbebas dari polusi
asap dan debu.
3. Alternatif ke
3 mencari tempat bermain bersama yang tidak berdebu dan berasap; misalnya
dengan bermain ke Taman sekitar rumah, atau mengajak anak bermain di “Play
Ground” yang saat ini banyak terdapat di Mal-Mal.
4. Coba ibu
pikirkan bersama suami alternatif apa lagi yang mungkin bisa menjembatani kedua
keinginan tersebut..
Apa bila ibu dan
suami mengubah pendekatan dalam mendidik anak menjadi sebuah pola menemukan dua
keinginan yang berbeda lalu berfokus untuk menemukan alternatif-alternatif
solusi yang disepakati bersama, maka perlahan-lahan konflik yang ibu hadapi
dengan suami akan berubah menjadi sebuah kerjasama indah dalam mendidik Daffa
secara baik.
Silahkan ibu dan
suami mencobanya; Rumusnya adalah; Jika saya mau, pasti saya Bisa melakukannya
! dan bukannya jika Saya bisa pasti saya mau melakukannya.!
Salam hangat,
ayah edy
ayah edy
Unduh talkshow ayah edy di www.ayahedy.tk
No comments:
Post a Comment