Kebiasaan itu adalah sebuah proses panjang yang di latihkan
dan tidak bisa dilakukan secara instant.
Sahabat keluarga Indonesia yang berbahagia,
Dirumah kami segala sesuatu tidak ada yang gratis, kecuali
kebutuhan dasar anak (Pangan, Papan dan Sandang).
Setiap keinginan anak didapat harus dengan usaha, semisal
untuk membeli mainan atau buku yang diinginkan anak kami, maka mereka harus
mengumpulkan koin-koin rupiah 500 yang di konversi sesuai tingkat kesulitan
pekerjaan yang dilakukannya. Semakin sulit semakin banyak koin yang mereka
terima.
Dan tiap malam atau paling tidak tiap akhir pekan mereka
akan menghitung perolehan hasil kerja mereka.
Bahkan jika anak kami ingin berekreasi kita satu keluarga
akan urunan anggaran sesuai budget tujuan rekreasi tersebut, jadi mereka benar2
merasakan bahwa apa yang mereka beli, mereka sewa, mereka miliki, mereka
nikmati adalah hasil jerih payah mereka sendiri dengan di bantu subsidi dari
orang tuanya jika angkanya terlalu tinggi untuk bisa mereka jangkau.
Itulah mengapa setiap kali anak-anak kami ingin membeli
sesuatu make mereka akan benar2 menghitung dan berhitung tingkat efisiensi dan
kebutuhannya, apakah ini akan benar2 di butuhkan, terlebih jika ini akan
menguras budget kocek tabungan mereka (dari uang yang mereka kumpulkan
sendiri).
Jadi secara tidak langsung anak-anak kami sejak kecil sudah
belajar berhitung secara logis matematis (tanpa harus belajar matematika),
sesuai kepentingan dan kebutuhan.
Termasuk jika ia berencana untuk membeli barang yang mereka
ingin beli atau pergi ke tempat2 yang mereka ingin kunjungi mereka akan
berunding dengan saudaranya dan dengan kami orang tuanya.
Nah... jika ternyata budget tempat atau tujuan mereka pergi
itu terlalu mahal untuk di jangkau, maka kami selaku orang tua akan memberikan
subsidi tambahan biaya bagi mereka untuk bisa menjangkaunya.
Bahkan pernah anak-anak kami ikut urun bayar listrik karena
saya katakan listrik sekarang mahal sekali dan naik sampai 3 kali berturut2 dan
katanya masih akan naik terus entak berapa kali lipat lagi.
Dan alhamdullilah anak-anak kami jadi anak yang tidak pernah
menekan orang tuanya untuk harus pergi ke tempat ini atau membeli mainan itu,
atau gadget2 tertentu. Karena mereka tahu benar bahwa setiap keinginan memiliki
sesuatu harus ada usaha dan keringat yang di keluarkan untuk mendapatkannya. Mereka
jadi lebih sering membuat sendiri mainannya dengan cara-cara yang unik dan
kreatif tanpa harus membelinya.
Ada sebagaian orang tua yang menilai ini sebagai bentuk
kekejaman atau ekploitasi, tapi kami lebih percaya ini adalah sebuah bentuk
pembelajaran real bagi anak tentang kehidupan sesungguhnya yang kelak akan
mereka hadapi ketimbang sebuah ekploitasi, Seperti kata pepatah, jangan
tinggalkan warisan harta bagi anakmu tapi tinggalkanlah warisan ilmu dan
kemampuan untuk mendapatkan harta bagi anak-anakmu.
Sy tidak pernah berpikir ini adalah sebuah ekploitasi atau
kekejaman, karena saya sama sekali tidak menarik keuntungan dari mereka tapi
merekalah yang kelak akan menarik manfaat dan keuntungan dari model
pembelajaran hidup ini.
Karena saya telah banyak melihat bukti2 betapa banyak orang
tua yang memberikan kemudahan dan fasilitas bagi anak-anaknya di sebabkan
karena orang tuanya merasa mampu, lalu ketika orang tua mereka telah tiada,
anak-anak mereka hidup berantakan karena tidak memiliki kemampuan seperti yang
dulu di miliki orang tua mereka.
Dan orang-orang ini adalah para sahabat dekat saya sendiri
yang dulu orang tua mereka adalah orang-orang berada yang lupa mewariskan
pengalaman suksesnya dulu pada anaknya.
"Saya tidak ingin anak saya mengalami kesulitan yang
dulu saya alami semasa kecil saya" itulah kira2 ucapan para orang tua ini.
Padahal jika kita telaah secara logika, justru
kesulitan-demi kesulitan yang dulu di alami oleh orang tuanya itulah yang telah
membuat mereka menjadi orang yang sukses seperti sekarang ini. Jadi menurut
saja jika kita ingin anak-anak kita sukses maka ajarilah caranya untuk hidup
sukses dan bukan memberikan berbagai kemudahan dari hasil sukses yang kita
capai. Persis seperti para binatang yang mengajari anak mereka sejak kecil
untuk belajar berburu mencari mangsa atau makan bagi kelangsungan hidup mereka
kelak.
Saya belajar dan di ajari metode ini oleh ibu saya dulu
sejak masih berusia 7 tahun, hingga akhirnya ketika kuliah kami tidak mampu
melanjutkan karena alasan biaya dari orang tua macet, maka saya langsung terjun
menjadi pedagang keliling di kampus menawarkan barang2 dagangan dan menjadi
guru les privat akuntansi untuk membiayayai kuliah saya sampai selesai.
Apakah ada keluarga Indonesia yang tertarik untuk
mencobanya ? atau malah lebih tertarik untuk memperdebatkannya?
Silahkan pilih mana yang paling sesuai dengan kebutuhan dan
kebiasaan kita masing-masing dan manakah yang lebih memberikan manfaat bagi
kita dan anak kita.
Latar belakang foto, Dimas menawarkan diri untuk mencuci
sepeda kami untuk bisa mendapatkan koin untuk menambah tabungannya. Dan foto
akhir pekan saat mereka menghitung hasil coin-coin yang mereka kumpulkan
masing-masing
Ayah, usia berapakah anak mulai bisa di ajari untuk mengenal dan mengerti bahwa apa yg mereka inginkan itu perlu usaha???? Anak saya masi berumur 2 thn 1 bln. Tapi sudah bisa minta dibelikan icecream dan coklat. Saya sebagai ibu sering mengabulkan permintaannya dg alasan gak tega n gak pengen seperti saya kecil dulu yg gak bsa makan coklat n eskrim karena keterbatasan finansial orag tua.
ReplyDelete